Senin, 10 Juni 2013

Let's Make a Better World Without Rape

Sungguh suatu hal yang mengerikan jika kita berbicara mengenai pemerkosaan. Setiap orang tentu ingin hidup yang tenang, nyaman, dan bahagia. Tidak ada orang yang ingin menjadi korban pemerkosaan. Peristiwa tersebut akan berdampak besar bagi kehidupan seseorang, seperti berdampak pada kondisi fisik, psikologis, dan sosial seseorang. Bahkan, hal ini dapat mempengaruhi hidup seseorang sampai sepanjang hidupnya. Melihat besarnya dampak yang ditimbulkan dari pemerkosaan, maka pemerkosaan harus dicegah. Hal ini membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak. Dengan adanya kerjasama dari masyarakat, maka diharapkan dapat mengurangi tindak pemerkosaan yang saat ini semakin marak terjadi, bahkan diharapkan tidak ada lagi tindakan pemerkosaan.
     Di berita-berita, baik itu di koran, di televisi, media online, dan lain-lain sering ada berita mengenai pemerkosaan. Kasusnya pun bermacam-macam, ada yang diperkosa oleh anggota keluarga sendiri, oleh kuli bangunan, kepala dusun, guru, dan lain-lain. Korbannya pun dapat berupa seorang anak perempuan berusia 12 tahun, kelas 2 SD, dan sebagainya. Bahkan ada kasus seorang anak perempuan yang diperkosa dikeluarkan oleh sekolahnya. Terdengar aneh kesannya... Saat mendengarnya, apakah pernah terlintas, "adakah perempuan yang sengaja dengan sukarela meminta untuk diperkosa?" Pemerkosaan berarti ada hubungan seksual yang terjadi tanpa kehendak (adanya unsur paksaan). Kalau dia saja tidak menginginkannya, lalu mengapa dia yang harus disalahkan? Ada pula kasus yang mengatakan karena wanita mengenakan pakaian "minim," sampai-sampai ada "pakaian dalam inovatif untuk hindari pemerkosaan."

     Pada kenyataannya, kasus pemerkosaan pun sekarang masih saja terjadi. Di dalam berita ada pelaku pemerkosaan yang tertangkap oleh pihak berwajib, diberikan hukuman, ada bahkan yang ditembak karena melarikan diri. Pertanyaannya, mengapa mereka tidak pernah jera? Masih saja ada kasus demikian. Adegan pemerkosaan yang disiarkan di televisi pun berperan dalam kasus ini. Adegan pornografi yang ditayangkan malah menjadi acuan berperilaku. Adegan itu tertanam dalam pikiran seseorang. Bagaimana akibatnya ketika seseorang lepas kendali atas dirinya? Setiap manusia memiliki dorongan ketidaksadaran, salah satunya adalah "dorongan untuk hidup (life instinct)," salah satu komponennya adalah prokreasi (menghasilkan keturunan) yang erat dengan hubungan seksual. Namun, dorongan ketidaksadaran itu bersifat pleasure principle, sehingga harus dipuaskanSelain itu, dalam diri setiap manusia ada juga "sistem aturannya," sehingga manusia dapat mengendalikan dorongan tersebut agar dapat disalurkan tanpa menentang aturan. Kita ambil salah satu contoh, seseorang yang telah menyaksikan video pornografi diberikan "minuman," sehingga dia mabuk. Ketika mabuk, kendali atas dirinya melemah, berarti kekuatan dari aturan melemah, apa yang tersisa? Hanya tersisa dorongan untuk hidup, akibatnya dapat terjadi kasus pemerkosaan setelah peristiwa tersebut.

     Apabila kasusnya demikian, apakah masih dapat dikatakan yang salah itu si perempuan karena memakai pakaian minim? Hati-hati, satu peristiwa dapat terjadi karena lebih dari satu faktor. Mengapa perempuan itu dijadikan sebagai suatu alasan terjadinya pemerkosaan? Mereka pun mengerti bahwa anggapan di dalam beberapa budaya masyarakat wanita yang diperkosa dikatakan bukan perawan lagi. Kasusnya memang itu bukanlah keinginan mereka untuk diperkosa, itu semua terjadi tanpa kehendak mereka. Seorang teman pernah berkomentar, kalau kasusnya pemerkosaan, apakah sang pelaku pernah berpikir bagaimana jika pelaku pemerkosaan itu adalah kerabatnya sendiri. Bagaimana pula apabila korbannya adalah kerabatnya atau orang yang dicintainya? Seharusnya ini yang menjadi pertimbangan. Kalau kita lihat lebih jauh lagi bagaimana dampaknya bagi perempuan yang telah diperkosa, mereka tentu memiliki pengalaman trauma. 

     Judulnya memang trauma, tetapi pemaknaannya berbeda. "Aduh gue ga mau pacaran lagi ah, kapok gue diputusin cuman gara-gara gue kebawelan, gue trauma....." dibandingkan trauma karena pemerkosaan, tentu berbeda. Kalau yang pertama, keluarga masih dapat membantunya perlahan-lahan, dia juga tidak sampai dikatakan "bukan perawan" seperti korban pemerkosaan. Sebuah pengalaman trauma dapat tidak disadari, sementara trauma itu terus memangsa seseorang secara perlahan. Seseorang yang mengalami trauma merasa ada yang membuatnya tidak nyaman. Apabila terus dibiarkan, hidupnya akan terus seperti itu, terus berada di bawah bayang-bayang masa lalu. Selain itu, dia juga akan mengalami kesulitan untuk membuka dirinya terhadap pengalaman-pengalaman baru, karena takut mengalami traumanya lagi. Ada pula yang menjadi depresi, curiga, menurunnya konsentrasi, dan adanya keinginan bunuh diri. 

     Itu baru dampak psikologis, masih ada dampak lainnya. Dampak-dampak lainnya pun dapat mengarah pada fisik dan kehidupan pribadi dan sosial individu itu sendiri. Dampak fisik, misalnya sakit, sulit tidur, berkurangnya napsu makan, berat badan menurun drastis, tertular penyakit menular seksual, dan lain-lain. Sedangkan dampak pada kehidupan pribadi dan sosial dapat berupa hilangnya rasa percaya diri, rusaknya hubungan keluarga/pertemanan, menghindari pria, takut menjalin hubungan cinta, berubahnya orientasi seksual, gelisah, dan sebagainya. Sekadar berbicara memang mudah, tetapi apakah kita mampu menempatkan diri sebagai orang yang diperkosa? Ketika kita mampu menempatkan diri, kita akan mulai mampu memahami sedikit demi sedikit apa yang dirasakannya. Setelah itu baru kita akan mengerti mengapa pemerkosaan itu lebih baik tidak terjadi, Let's make a better world without rape.