Minggu, 29 Juni 2014

Skripsweet

Selama mengerjakan skripsi, para mahasiswa termasuk saya sering mengeluh sakit kepala, tertekan, bingung, dan lain-lain. Ada pula mahasiswa yang sangat antusias selama mengerjakan skripsi. Waktu dalam satu hari selalu dipersembahkan sepenuhnya untuk mengerjakan skripsi. Namun, mahasiswa itu mempunyai ciri khas tersendiri. Mahasiswa pertama hobinya mengubah-ubah judul, mengatakan penelitiannya belum sempurna. Mahasiswa lainnya rajin bimbingan, dalam satu minggu mungkin sempat melakukan tiga kali bimbingan. Dosen pembimbing pun ada yang mengeluh karena progres mahasiswanya belum terlihat dan tetap membimbing dengan sepenuh hati. Kalau berbicara mengenai skripsi, beribu-ribu kesan akan muncul, so sweet, skripsweet....

     Secara umum, penelitian skripsi kali ini dilakukan dengan salah satu metode, antara kuantitatif atau kualitatif. Penelitian kuantitatif umumnya memerlukan alat ukur (umumnya). Sedangkan penelitian kualitatif memerlukan metode observasi/wawancara (pada umumnya). Kesan-kesan para mahasiswa yang memilihnya pun beragam. Mahasiswa yang memilih metode kuantitatif mengeluh pusing mencari subyeknya, karena perlu banyak subyek. Ada pula yang bingung karena belum menemukan alat ukur yang tepat. Berbeda dengan mahasiswa yang memilih metode kualitatif. Mereka kesulitan dalam mencari subyek karena kriterianya sangat spesifik, misalnya mencari individu dengan kondisi khusus. Kedua metode itu pun dapat dikombinasikan menjadi kuantitatif-kualitatif. Kesannya pun berbeda dengan satu metode saja. Mahasiswa yang memilihnya terkadang mengalami kesulitan karena perlu mencari subyek tambahan, datanya kurang beragam untuk melakukan pemilihan subyek wawancara, dan lain-lain.

     Kalau dipikir-pikir, penelitian itu sulit ya? Tidak hanya teknik yang diutamakan dalam penelitian, tetapi kemampuan analisis, penulisan, tata bahasa, dan alur berpikir juga diperlukan dalam pembuatan laporannya. Ujian untuk mahasiswa Strata 1 bukan ujian negara atau ujian teori/praktik seperti di sekolah, tetapi presentasi penelitian skripsi. Hal-hal yang sudah dipelajari sejak semester 1 sampai proses penyusunan skripsi akan dinilai pada saat sidang. Tidak mengherankan lagi kalau mahasiswa panik, cemas, berkeringat dingin, dan gugup pada saat akan sidang. Namun, hal-hal yang sebenarnya sudah pernah dipelajari menjadi landasan selama mengerjakan skripsi. Kita mengerti teori seperti apa yang diperlukan dalam penelitian kita. Kita mengetahui bagaimana cara membuat analisis berdasarkan kasus yang ditemukan di lapangan. Masih banyak lagi manfaat yang sebenarnya dapat diperoleh selama mengerjakan skripsi.

   Selama mengerjakan skripsi, tidak hanya kompetensi melakukan penelitian saja yang dapat diperoleh, tetapi kita juga dapat belajar dari kenyataan di lapangan. Hal yang dipelajari di kelas belum tentu sama dengan kenyataan yang terjadi. Itulah yang perlu dicari tahu penyebabnya dalam sebuah penelitian. Tidak hanya menganalisis hal yang memang sama dengan yang kita pelajari, tetapi kita juga menganalisis perbedaannya dengan teori. Baik penggunaan metode kuantitatif maupun kualitatif, keduanya sama-sama memiliki manfaat tersendiri. Kompetensi yang terasah pun akan berbeda. Misalnya, mahasiswa akan terlatih menggunakan alat ukur dan mengolah data berupa angka (kuantitatif) dan menginterpretasikannya atau terlatih untuk melakukan observasi/wawancara dan analisis mendalam (kualitatif).

   Kompetensi-kompetensi tersebut akan diuji pada saat sidang. Kalau kita sendiri yang melakukannya tanpa terus meminta jasa orang lain untuk mengerjakan skripsi, kita pun memahami karya penelitian kita sendiri. Saat mempresentasikannya pun kita sebagai peneliti yang berbicara. Kita berbicara berdasarkan penelitian kita yang sudah berhasil dilaksanakan dalam kurun waktu yang terbatas. Melakukan penelitian bukan sesuatu yang dapat diprediksi waktu selesainya, tergantung dari seberapa realistisnya topik penelitian, waktu yang diperlukan untuk mencari subyek, dan berbagai hal yang dapat memengaruhinya. Menyelesaikan penelitian dan laporannya dalam waktu yang ditentukan bukan sesuatu yang mudah. Mahasiswa yang berhasil menyelesaikan keduanya dalam proses bimbingan dalam kurun waktu tertentu tentu saja dapat dikatakan sebagai sebuah prestasi.

Minggu, 09 Maret 2014

Faktor X

Mungkin satu fenomena ini sering terjadi, baik itu berkaitan dengan diri kita sendiri atau orang-orang di sekitar kita. Kalau namanya sudah deadline biasanya orang-orang sibuk mengerjakan tugas A, B, dan C. Sampai-sampai kepanikan mereka memuncak dan mudah sekali marah kalau diganggu. Lupa satu hal kecil saja, marahnya kemana-mana. Tidak jarang pula mereka hanya memikirkan kerja, kerja, kerja, SKS (Sistem Kebut Semalam). Ada versi lainnya lagi selain deadline, contohnya seseornag yang terlalu bersemangat untuk mengerjakan sesuatu dan ingin pekerjaannya cepat selesai. Orang-ornag seperti ini juga cenderung memaksakan dirinya sesuai yang diinginkan. Mungkin saja dia terus bekerja tanpa henti alias nonstop. Meskipun badai menghadang (sulit konsentrasi, mengantuk, lelah, dan lain-lain), pekerjaan tetap diutamakan sampai dia melupakan waktu untuk istirahat. Apa sih pentingnya istirahat? Apakah istirahat akan mengganggu performa kita selama bekerja?

     Asyik-asyiknya bekerja dapat membuat seseorang cenderung melupakan faktor X seperti kondisi fisik, pikiran, dan suasana hati (mood). Dia tidak sadar jika ternyata performanya dalam kondisi tertekan itu dapat menurun akibat faktor-faktor lain tersebut. Sederhana saja, Anda bayangkan selama Anda bekerja dalam kondisi yang tidak terlalu besar tuntutannya (tekanan), bagaimana rasanya? Berbeda halnya ketika tekanan itu terlalu besar, akhirnya kita cenderung memaksakan tubuh/pikiran untuk berfokus pada pekerjaan tersebut. Keesokan harinya, merasa masih sangat lelah dan ingin tetap berada di ranjang empuk dengan dinginnya AC yang terus menggoda agar kita tidur lagi. Maaf, Anda kurang beruntung, jam 7 pagi Anda sudah harus mengerjakan hal lainnya...

     Khusus untuk hari itu dan beberapa hari ke depan mungkin Anda masih bisa memaksakan bangun dan kembali beraktivitas. Saat itu belum terpikirkan bahwa ini sebenarnya kurang baik bagi kesehatan. Malam hari adalah waktu bagi tubuh untuk istirahat, tetapi apabila terus dipaksakan bekerja terlalu keras, akhirnya pemulihan ini akan melambat dan kurang sempurna. Apalagi kalau tidak tidur nyenyak selama beberapa hari, bukan hanya pikiran yang kurang fokus atau menurunnya performa serta daya tahan tubuh, tetapi kondisi itu juga membuat kita malas beraktivitas. Yang ada di pikiran hanya, "Kapan penderitaan ini akan berakhir?" Ada di antara mereka yang terus bekerja di depan komputer berhari-hari, bisa dikatakan proporsi waktu kerja jauh lebih besar daripada waktu istirahat. Akhirnya punggungnya sakit, kepala pusing, sudah bosan dengan pekerjaannya sendiri.

     Kalau sudah benar-benar bosan seperti itu dan tidak sanggup, mungkin saja adegan berikutnya meminta ornag lain menggantikannya dalam bekerja atau tetap memaksa untuk bekerja. Kerja sih kerja, tapi terus mengeluh, mengeluh, dan mengeluh, alias Butuh Tatih Tayang.. (minta dikasihani, minta keringanan, minta diperhatikan, dan lain-lain). Berbeda halnya kalau msialnya dia dapat bekerja secara stabil. Dari tujuan yang besar dibagi ke dalam beberapa tujuan kecil sehingga lebih mudah dicapai. Selain itu, pembagian waktu kerja juga lebih mudah, misalnya untuk hari Senin target A harus tercapai, hari Selasa target B, dan seterusnya, Ketika satu target selesai, perjalanan mencapai tujuan semakin dekat. Hasilnya, dia semakin bergairah untuk cepat menyelesaikan pekerjaannya yang hanya dalam hitungan hari.
www.yourlifebalancecoach.com
     Selain cara tersebut efektif dalam hal pekerjaan, secara fisik juga akan lebih sehat. Waktu kerja dan waktu istirahat relatif seimbang, sehingga ada waktu untuk mengistirahatkan pikiran. Ketika kembali bekerja, berpikir dengan pikiran yang jernih dan lebih kreatif tidak sesulit sebelumnya. Suasana hatinya pun lebih terkendali, tidak hanya ingin bermalas-malasan saja seperti contoh ornag yang kurang tidur tergoda empuknya ranjang dan dinginnya AC. Tentunya setiap orang memiliki siasat tersendiri dalam bekerja. Ada orang yang selalu ingin menyelesaikan pekerjaan terlebih dahulu supaya tidak stres (katanya), ada pula yang mengimbangi waktu kerja dan istirahat, Tipe manakah Anda?

Kamis, 30 Januari 2014

Kisah Si Remot di Malam Imlek 2014

Bunyi "dor!" di malam imlek bukan sesuatu yang asing lagi, sekaligus surprise disertai banyak warna-warni kembang api yang keren. Bahkan untuk malam pergantian taun dan imlek sendiri kembang api merupakan sesuatu yang menjadi ciri khasnya, sama-sama new year pula. Keren... Namun, hal ini indah bagi manusia tapi bukan sesuatu yang indah bagi seekor anjing, si Terry alias Si Remot. Berkali-kali dia bangun gara-gara kembang api, ini kisahnya...

     Si Remot biasanya selalu tidur tenang tanpa gangguan malam-malam. Meskipun ada yang mengetuk jendela, tetap tidur, tidak diperdulikan, malang sekali nasib si pengetuk jendela itu. Kacang mahal.... Akan tetapi, malam ini bukan malam yang indah bagi Si Remot. Setiap ada bunyi "dor!" tubuhnya sedikit tersentak. Kalau bunyinya terlalu keras, kedua telinganya tegak, dia bangun sambil duduk dan melihat ke sekitarnya, "Siapa sih yang ganggu tidur gue malem-malem...?" Bagi manusia bunyi "dor!" adalah surprise, tetapi bagi dia sama dengan surprise attack. Tidak hanya itu, ternyata setiap kembang api dinyalakan, bagi dia benar-benar wangi aromanya, sepanjang jalan penuh dengan aroma asap kembang api. Theme song: Hao Xiang. Kalau misalnya dilepas, dia pun tidak mau keluar dari tempat tidurnya berupa teflon tempat makannya, apalagi keluar dari kandang. Seandainya dia keluar, dia sembunyi di bagian pojok tembok sambil meratapi nasibnya di malam hari.

http://kylierichardson.com/fireworks-safety/
     "Kapan malam ini berakhir???" pikirnya. Sayangnya itu tidak cukup satu hari. Yaa, mungkin sekitar tiga sampai empat hari masih banyak terdengar letusan kembang api. Malangnya Si Remot, apa kalau dia ulang tahun dibelikan headphone supaya dia bisa mendengar lagu Firework yang enak itu daripada "Dar, Der, Dor! Remot dan Kembang api." Begitu terdengar lebih dari lima kali letusan kembang api yang suaranya begitu membahana, saya usil keluar pintu dan mencari siapa yang meletuskan kembang api itu. Endus, endus.. dimana-mana bau asap ayam bakar, maksudnya kembang api. Ter-nya-ta si tetangga seberang yang berulah. Dia sedang memegang selongsong atau tube atau apalah itu namanya, ada percikan-percikan api di atasnya. Tiba-tiba percikan itu terbang ke atas dalam bentuk seperti gumpalan api dan "dor!" kilauan warna-warni menghiasi langit malam yang gelap. Kemudian saya pergi ke kamar belakang, ternyata bunyi "dor!" juga, "Loh? ini ulah siapa?!"

     Ketika mendengar baik-baik, dari arah depan ada suara letusan, semakin lama semakin kecil suaranya. Tiba-tiba bunyi itu terdengar lebih besar dari arah belakang. Oh ter-nya-ta, kembang api si tetangga itu dilontarkan ke rumah ini! Dasar tetangga bandel.! Mau ajak perang kembang api? Ayo sini! Bedanya di sini mesiunya kembang sepatu (sepatu bekas betulan), bukan kembang api. Dilontarkan ke langit dan menghiasi halaman rumahmu. "Lihat kebunku, penuh dengan sepatu bekas..." Ya, itu tidak mungkin dilakukanlah, terlalu parah... Mau memindahkan si Remot ke belakang juga percuma, dimana-mana "dor!" malangnya Si Remot. .. Biasanya dia yang mengejutkan tetangga dengan gonggongannya yang auuu auuu itu, sekarang dia yang kena batunya. Seandainya dia juga bisa menikmati kembang api, pasti lebih seru. Siapa tahu ketika meletus "dor!" dia malah melolong, itu kan sesuatu yang unik, mungkin itu jadi horror bagi tetangga yang suka film horor. Kalo makanan saat imlek dia bisa ketagihan, tetapi kalau kembang api.... hmm...?

Senin, 30 Desember 2013

The Last Day of 2013

I've never experienced the tru love of a grandfather since I was a little child. The one who let me feel the love of grandfather is my dear uncle. He has five children and nine grandchildren, he truly loves them. He always willing to listen to me whenever I had a problem and he addressed me as one of his grandchildren. Sometimes I can't express my feelings toward someone in my family, but I can always share those feelings with him. Most people think a little boy knows nothing and didn't trust him like adults, but my uncle always listen to me when I tell him every story I have in my mind. It's true I don't know he trusted me or not, but I know he care so much because he was willing to listen to every story I shared.

     Several years ago, uncle suffered from stroke. It made him cannot move his mouth, neck, hands, and legs. He can't talk, he can't doing his job, and he cannot doing his hobby. These condition made him less appetite and talk less. His condition became better and worse during the time. He have showed us some progress that I couldn't imagine. He could say a word more clearly by moving his mouth. He could move his neck to move his head toward the food which his daughter hold it next to him. I tried to chat with his wife about his condition and she didn't notice the progresses uncle showed to us.

     At first, I think those progresses uncle showed are the clues that his condition will become better, better, and better. Something happened, I don't know exactly how uncle got to hospitalized once more. He should take the treatments to improve his health including haemodialysis and consume the medicine the doctor gave to him. One day, dad told me, "He cannot be helped anymore." Do you know how it feel? It's like your heart got an electric shock, it's truly hurt, I was shocked to hear those words. His condition became worse and worse until yesterday. When dad visited him at the hospital (in ICU room), he felt "paralyzed," he felt powerless and can barely move his legs and have no appetite all of sudden. 

     This morning, dad received a bad news, one of uncle's child told him "Dad have gone." He told it to mom and me. Off course it's hard to accept, It's hard to believe. "When God says he should be alive, he is alive. When God says he should be back to Him, he'll be back to Him," and there's always a meaning behind of the situation regardless it's pleasant condition or not. Sad is the first thing I experienced when we receive a bad news. But, when I think it over back when uncle suffered from stroke for the first time until now, how long he suffered from stroke? It's more than two years! It's over already for his suffering... This condition may be good for him to go back to God, because he doesn't have to suffer anymore. It's not anyone faults the reason he left, it feels better when I think from his point of view. 

 

     I'll always remember the love you shared in our family and I'll never forget your smile and your attitude when we have a problem, you always tried to help us. I'm grateful for these beautiful memories you gave to us. I can't feel my grandfathers' love since I was a little child, because they already with God long time ago. You're the one who let me feel the love of grandfather. Thank you very much for all the time you spent with us until the last day of 2013.

Minggu, 17 November 2013

The Meaning Behind Technology

Not all elderly interested in technology. Some of them may think "if we can work with our hands alone, why not?" Since technology were created to help us to do our works, they associate technology as something needed for the work. They usually work manually (with a simple technology) without updated technology. This kind of thinking is the reason why some of them is kind of difficult to integrate themselves with technology. There's still a group of elderly who do not think like this way, they think about "technology is a new way to have fun." They can see the smile on their children and grandchildren while they are playing with gadgets. They feel like to try something new, something refreshing, something fun, it's the technology itself.

     It's not a surprise anymore if we meet an adult (68 years old) who "rejects" technology, assuming it's not necessary. He believe he can do his works with his own hands. On the other side, he wishes his child to master the technology, for example: computer. The child was told, "computer is important, every jobs need computer. You should be able to master it." The father's words seems like contradict each other, maybe the child feels confused. He think his father is not able to master the technology and do not have a little interest in it, but he wishes his child to master it. Every time the child tries to learn with technology, the father always observe how to use the technology. Sometimes, the father asks, "Um... where that film come from?," "How did you play a game on a computer?," etc. Those questions seems like the father is begin to take a liking on technology, the feelings of curiosity.

     Children has a special characteristic which is curiosity. But, the curiosity is still exists among adulthood, regardless if he is early adulthood, young adulthood, middle adulthood, or late adulthood. Have you ever think how technology made him interested? One of the factors is the environment, especially social environment. Our grandparents also have their own friends. There's a possiblility that some of their friends are "up-to-date" about technology because they were open to new experiences. All elderly are always learning, they learn something from their own self, they also learn from their environment. By experiencing the technology with their friends, they enjoy themselves. They feel something different but interesting. Playing games, chatting with old friends, video call, reading news from internet, and so on are possible with technology.

http://topnews.ae/content/217820-video-games-improve-cognitive-functioning-elderly-people

     The first experience of technology itself is really exciting for them. The exciting moments grant them to feel curious, so they will have a motivation to learn new things with technology. They will start to ask something about technology repeatedly, showing more curiosity. If we give them an answer, they will ask again and again. It doesn't matter, because it's the process of learning. We know that cognitive skills will decrease gradually during late adulthood, about the ability to remember, the ability to solve a problem, the ability to focus, etc. We can view technology as a media to train the cognitive skills and it's good for elderly. For example, there's a game which requires more attention and problem solving skills. We need to focus our attention during we play. At the same time, we need to solve the problems which were represented in the game. 

     Besides technology is a media to train the cognitive skills, It is a good thing to make elderly's life more meaningful. The search for meaning in life is the common theme among adulthood, especially late adulthood. They can live their live by experiencing something, like love, excitement, the sense of beauty, the truth, and many things else. By experiencing technology, they feel it's the way to have fun. The fun itself strengthen the relationship between their friends, children, their grandchildren, and themselves. Not only excitement, but they will be able to experience love among the family and friends. The feelings they got during experiencing the technology will open their heart the technology is not only help people with their jobs, but to live their lives too.

Sabtu, 26 Oktober 2013

A Patient

We do know how it feels when it comes to our experiences being a patient. Not worth doing, helpless, unhappy, having a little interest, or anything else are examples of our experiences being a patient. We want to do something for our family or our friends, like doing our tasks at home and trying to learn for test. Sometimes our family member or our friend ask us to not doing something like those because our condition. It's kinda uncomfortable for some people who always doing their jobs to just sitting around and do nothing. They may start to thinking about their jobs, how about the progress of the jobs without his/her role, what kind of difficulties do the comrades overcome, etc.

     A simple disease can lead us to think about our problems in daily life, but how about people who suffer from chronic illness? There's a lot of people who can still doing their activity in this kind of situation. There's a lot of people who cannot doing their activity because of chronic illness. The medical staffs, their family, or their friends ask them to rest until they become healthier. We should know first, what activity does the patient intend to do? If it's like an activity which requires much power, it's alright if we ask him/her to rest and not do it. But if it comes to activity which requires a little power and stamina, the patient can try to do it with help from others.

     By doing something, a patient may feel they can still do something, so that he/she can regard himself/herself. A patient will be able to view his/her self from the positive persepctive. They will have a knowledge about what kind of positive qualities do they have in their condition. The sense of regard will became one of their strength to overcome the stress caused by their condition. When the patient have the feeling of helpless, they can use the experience of the positive feelings to overcome the feelings of helpless. Have your ever experience a patient shows his/her smile while his/her family with them? It's like a kind of power exist inside the family. The power is social support, something needed for a patient with chronic illness.  The patient feels the families are still waiting for his/her recovery. With social support, the patient gains affection from their relatives.

     He/she might not forget about how it feels when someone asked about her condition. The patient's families or friends maybe aware about his/her condition too, especially the progress of the recovery. There's a possibility the patient's condition haven't become healthier because of the low adherence of medical condition. The feeling to be loved enhances the patient's motivation to become healthier. The wish improves the patient's adherence of medical procedures. They become aware of their medical condition and make a behavioral changes. They may follow the medical staff's advice and became more concern about the progress of their health. Their behavior leads to better medical condition, they will be able to smile a lot, laugh with heir relatives, and doing their daily activities.
    

Kamis, 19 September 2013

Jatuh Bangun Jatuh Lagi dan Lagi

Sejak pertama kali menjadi mahasiswa saya selalu penasaran apa yang membuat mahasiswa takut sekali dengan yang namanya skripsi. Sinetron pun ada yang memilih mahasiswa sebagai tokoh cerita dan terkadang skripsi juga disebut-sebut. Sayangnya, saya belum pernah menyaksikan mahasiswa yang sangat antusias dengan yang namanya skripsi, alias euphoria. Itu baru fenomenal, tetapi itu bisa dikatakan keajaiban kampus kalau sampai terjadi. Kejadian lainnya adalah saat bertemu seorang senior di kampus. Beliau pernah berkata, "aduuuhhh pusing nih semprol, pusiiinggg...." Istilah "semprol" nanti akan kita bahas lebih lanjut. Ada juga yang mengatakan, "Lu belom tau sih rasanya semprol." Malah seseorang ada yang pernah usil di kelas, "Udah ganti judul berapa kali?" Jawabannya, "Kayaknya tiga kali deh." Hanya ada satu kesan, "OH-MY-GOD apakah itu mata kuliah atau makanan istimewa?"

     Sebagian besar senior sudah lulus. Ada yang masih dapat dideteksi keberadaannya karena masih suka menampakkan diri di kampus, ada pula yang sudah menghilang entah kemana (kuliah di lain kampus atau bekerja). Sekarang, giliran angkatan kami yang mencicipi hidangan istimewa alias semprong (semprol-seminar proposal) itu!!! Makanan apakah itu? Di mata kuliah ini kami akan dibimbing oleh dosen untuk mengerjakan proposal penelitian, dari Bab I sampai Bab III. Bahkan selama liburan kami harus mencoba membuatnya terlebih dahulu. Sepanjang satu semester yang dilakukan adalah revisi, revisi, dan revisi. Selama ini sudah tiga kali revisi yang kami lakukan. Setiap pertemuan ada saja yang masih kurang artistik dari proposalnya. Sayang sekali, begitulah hidup... Akhirnya kami sudah dapat mengerti mengapa makanan ini alias semprong begitu istimewa, meskipun baru tahap awal skripsi. Setiap muncul feedback, selalu tidak dapat diprediksi kapan waktu pengumpulannya. Selain itu, belum tentu mudah memperbaiki kesalahan yang sudah terdeteksi.

     Seringkali apa yang sudah diperbaiki malah menimbulkan kesalahan baru, revisi lagi... Siklus ini terus berlanjut, sampai semester habis. Jujur saja saya agak terganggu dengan yang mengatakan, "Aduhh susah banget nyari datanya, gue bikin aja sebisa gue dulu, nanti juga disuruh revisi lagi, iya kan?" Saya pun berkata dalam hati, "Emangnya gue ga susah nyari data. Enak aje bisa direvisi lagi, sama aja gue kerja dua kali dong?" Terkadang ada pula mahasiswa yang kembali "menggalau ria," "Duhh, gue takut nih sama pembimbingnya, ntar diituin lagi kerjaan gue." Takut dengan pembimbing sehingga kembali bimbang dengan hasil keputusan, memang wajar-wajar saja. Akan tetapi, siapa yang pertama kali memilih dosen pembimbing? dia. Siapa yang tadinya sangat menggebu-gebu ingin minta dibimbing oleh dosen tersebut? dia. Tentu saja jawabannya hanya satu, yaitu bertanggung jawab dengan keputusan itu. Semua pilihan ada di tangan mahasiswa, ingin berkembang atau tidak. Kalau ingin berkembang, mengapa harus bimbang?

     Bimbingan hari ini benar-benar sebuah kejutan. Secara penampilan fisik proposal kami kelihatannya kesan positif, tidak banyak coretan tinta dari halaman depan. Ketika dibalik ke belakang dan semakin ke belakang, coretan koreksi semakin banyak. Hal ini menandakan betapa banyaknya yang harus diperbaiki. Perasaan kecewa pastinya ada, karena belum maksimal. Setiap bimbingan hanya ada satu pertanyaan mendasar yang selalu dapat ditanyakan pada diri sendiri, "Mau hasilnya bagus atau jelek?" Pilihan ada di tangan Anda, karena Anda begitu berharga. Pembimbing memang terkesan "killer," menghabisi sampai ke pori-pori terkecil dari tulisan, tetapi pernahkah melihat sesuatu di balik itu semua? Banyaknya feedback menandakan ketulusan pembimbing untuk mengantarkan mahasiswa untuk meraih gelar sarjananya. Sesuatu yang tulus tidak harus dikatakan, tetapi juga bisa tampak dari perbuatan. Kalau membayangkan diri menjadi pembimbing, rasanya bagaimana kalau melihat mahasiswa belum berhasil atau gagal? Tentu saja bukan itu yang diinginkan, yang diinginkan adalah keberhasilan dari mahasiswa itu sendiri. Pembimbing mengusahakan yang terbaik, mengapa kita tidak memberikan yang terbaik juga? Pembimbing yang baik tidak akan setengah-setengah membimbing mahasiswanya. Dengan mengetahui hal itu, perasaan sakit setelah jatuh karena gagal perlahan-lahan memulih. Usaha terbaik selalu dinanti-nantikan oleh pembimbing. Apa yang terbaik bukanlah sesuatu yang selalu berhasil, tetapi sesuatu yang diperjuangkan dnegan sebaik mungkin.