Sejak pertama kali menjadi mahasiswa saya selalu penasaran apa yang membuat mahasiswa takut sekali dengan yang namanya skripsi. Sinetron pun ada yang memilih mahasiswa sebagai tokoh cerita dan terkadang skripsi juga disebut-sebut. Sayangnya, saya belum pernah menyaksikan mahasiswa yang sangat antusias dengan yang namanya skripsi, alias euphoria. Itu baru fenomenal, tetapi itu bisa dikatakan keajaiban kampus kalau sampai terjadi. Kejadian lainnya adalah saat bertemu seorang senior di kampus. Beliau pernah berkata, "aduuuhhh pusing nih semprol, pusiiinggg...." Istilah "semprol" nanti akan kita bahas lebih lanjut. Ada juga yang mengatakan, "Lu belom tau sih rasanya semprol." Malah seseorang ada yang pernah usil di kelas, "Udah ganti judul berapa kali?" Jawabannya, "Kayaknya tiga kali deh." Hanya ada satu kesan, "OH-MY-GOD apakah itu mata kuliah atau makanan istimewa?"
Sebagian besar senior sudah lulus. Ada yang masih dapat dideteksi keberadaannya karena masih suka menampakkan diri di kampus, ada pula yang sudah menghilang entah kemana (kuliah di lain kampus atau bekerja). Sekarang, giliran angkatan kami yang mencicipi hidangan istimewa alias semprong (semprol-seminar proposal) itu!!! Makanan apakah itu? Di mata kuliah ini kami akan dibimbing oleh dosen untuk mengerjakan proposal penelitian, dari Bab I sampai Bab III. Bahkan selama liburan kami harus mencoba membuatnya terlebih dahulu. Sepanjang satu semester yang dilakukan adalah revisi, revisi, dan revisi. Selama ini sudah tiga kali revisi yang kami lakukan. Setiap pertemuan ada saja yang masih kurang artistik dari proposalnya. Sayang sekali, begitulah hidup... Akhirnya kami sudah dapat mengerti mengapa makanan ini alias semprong begitu istimewa, meskipun baru tahap awal skripsi. Setiap muncul feedback, selalu tidak dapat diprediksi kapan waktu pengumpulannya. Selain itu, belum tentu mudah memperbaiki kesalahan yang sudah terdeteksi.
Seringkali apa yang sudah diperbaiki malah menimbulkan kesalahan baru, revisi lagi... Siklus ini terus berlanjut, sampai semester habis. Jujur saja saya agak terganggu dengan yang mengatakan, "Aduhh susah banget nyari datanya, gue bikin aja sebisa gue dulu, nanti juga disuruh revisi lagi, iya kan?" Saya pun berkata dalam hati, "Emangnya gue ga susah nyari data. Enak aje bisa direvisi lagi, sama aja gue kerja dua kali dong?" Terkadang ada pula mahasiswa yang kembali "menggalau ria," "Duhh, gue takut nih sama pembimbingnya, ntar diituin lagi kerjaan gue." Takut dengan pembimbing sehingga kembali bimbang dengan hasil keputusan, memang wajar-wajar saja. Akan tetapi, siapa yang pertama kali memilih dosen pembimbing? dia. Siapa yang tadinya sangat menggebu-gebu ingin minta dibimbing oleh dosen tersebut? dia. Tentu saja jawabannya hanya satu, yaitu bertanggung jawab dengan keputusan itu. Semua pilihan ada di tangan mahasiswa, ingin berkembang atau tidak. Kalau ingin berkembang, mengapa harus bimbang?
Bimbingan hari ini benar-benar sebuah kejutan. Secara penampilan fisik proposal kami kelihatannya kesan positif, tidak banyak coretan tinta dari halaman depan. Ketika dibalik ke belakang dan semakin ke belakang, coretan koreksi semakin banyak. Hal ini menandakan betapa banyaknya yang harus diperbaiki. Perasaan kecewa pastinya ada, karena belum maksimal. Setiap bimbingan hanya ada satu pertanyaan mendasar yang selalu dapat ditanyakan pada diri sendiri, "Mau hasilnya bagus atau jelek?" Pilihan ada di tangan Anda, karena Anda begitu berharga. Pembimbing memang terkesan "killer," menghabisi sampai ke pori-pori terkecil dari tulisan, tetapi pernahkah melihat sesuatu di balik itu semua? Banyaknya feedback menandakan ketulusan pembimbing untuk mengantarkan mahasiswa untuk meraih gelar sarjananya. Sesuatu yang tulus tidak harus dikatakan, tetapi juga bisa tampak dari perbuatan. Kalau membayangkan diri menjadi pembimbing, rasanya bagaimana kalau melihat mahasiswa belum berhasil atau gagal? Tentu saja bukan itu yang diinginkan, yang diinginkan adalah keberhasilan dari mahasiswa itu sendiri. Pembimbing mengusahakan yang terbaik, mengapa kita tidak memberikan yang terbaik juga? Pembimbing yang baik tidak akan setengah-setengah membimbing mahasiswanya. Dengan mengetahui hal itu, perasaan sakit setelah jatuh karena gagal perlahan-lahan memulih. Usaha terbaik selalu dinanti-nantikan oleh pembimbing. Apa yang terbaik bukanlah sesuatu yang selalu berhasil, tetapi sesuatu yang diperjuangkan dnegan sebaik mungkin.