Senin, 29 April 2013

"Air" dan "Minyak"

Kelihatannya dunia Psikologi Pendidikan (Pendi) dan dunia Psikologi Industri Organisasi (PIO) jauh berbeda. Hal yang terbayang saat mendengar kata "Pendi" itu sekolah, anak-anak, dan remaja, sedangkan kalau berbicara "PIO" yang terbayang itu perusahaan dan orang dewasa. Beda dunia, beda alam, beda dimensi, kelihatannya saja.... Bahkan ketika membahas keduanya di kuliah, jarang sekali menemukan keduanya dikombinasikan. Yang biasanya dikombinasikan itu Klinis-Pendi dan Klinis-PIO. Ketika pergi ke toko buku pun seperti itu yang terjadi. Anggap saja Pendi itu air, sedangkan PIO itu minyak. Apakah keduanya benar-benar seperti "air" dan "minyak" yang tidak bisa menyatu meskipun keduanya sama-sama zat cair, sama-sama ranah psikologi? Atau sebaliknya?

     Sebelum membahas mengenai dunia Pendi, di sini konteksnya adalah seorang psikolog yang menjadi guru BK (Bimbingan Konseling). Di dalam dunia Pendi, wawancara dapat digunakan kepada berbagai macam subyek, mulai dari murid, guru, dan orangtua, bahkan sampai ke staf-staf di sekolah. Biasanya kalau seorang murid dipanggil guru BK, murid itu berpikir, "Mati deh, ada masalah apa nih? Ada apa sama gue? Kok gue dipanggil?" Asalkan dipanggil ke ruang BK selalu berpikir adanya "masalah," akhirnya ada yang takut alias musuh dengan ruang BK. Tenang, apa yang terjadi di ruangan ini semata-mata untuk membantu saja. Murid yang dipanggil ke ruang BK, umumnya adalah yang memiliki masalah, baik itu masalah akademis maupun perilaku. Kalau ada masalah dengan murid, siapapun yang dekat dengannya dapat dilibatkan untuk mengetahui akar permasalahannya. Jika orangtua dipanggil oleh guru BK, selalu ada yang "lucu-lucu." Entah orangtuanya datang sendiri atau malah meminta pihak lain mewakilinya. Orangtua yang datang sendiri pun ada yang belum mengetahui seperti apakah anaknya di rumah. Mereka umumnya mengatakan, "anak-anak saya baik-baik aja kok Pak, ga ada masalah. di rumah juga baik-baik aja." "Maaf, apa ibu bekerja? Seperti apa jadwal kerja ibu?" "Kerja. Senin sampai jumat dari jam 9 pagi sampai jam 11 malam." Pagi hari bertemu dengan anak, mengantar sekolah, lalu pergi bekerja. Anaknya pulang sendiri ke rumah, tidur pukul 21.00. "Ta-daaa, mama pulang!!!! (Jam menunjukkan pukul 11.00 dan si anak sudah tidur)" Maaf Anda belum beruntung, silakan coba kesempatan Anda di hari berikutnya. Waktu bertemu anak  berkurang karena orangtuanya bekerja, lalu bagaimana orangtua dapat mengenali anaknya lebih dalam?

     Kalau sudah menyangkut masalah kerja, konteks PIO sudah di depan kita. Konteks PIO tidak hanya sebatas seleksi dan rekrutmen calon karyawan, training, dan sebagainya, tetapi juga berkaitan dengan masalah-masalah pekerjaan. Kita perlu mempertanyakan seperti apa deskripsi pekerjaan orangtua si anak, lalu mulai mencari tahu apa masalahnya. Di sinilah kita dapat menggunakan teknik wawancara. Mungkin saja orangtua memiliki alasan kerja lembur, kerja keras sampai larut malam sampai mengorbankan waktu dengan anaknya. Alasan itu bermacam-macam, ada yang memang menyukai pekerjaan sehingga lupa waktu, ada pula yang memikirkan uang sekolah anak, sehingga bekerja keras agar memperoleh penghasilan lebih. Itu baru sekian dari berbagai kemungkinan yang ada. Namun, apa yang dapat dilakukan dalam konteks ini? Ada yang namanya konseling dalam pekerjaan, seorang karyawan bertemu tatap muka dengan konselor. Peran konselor adalah membantunya dalam menyelesaikan masalah. Namanya konseling, tentu di dalamnya ada wawancara. Melalui sesi konseling ini, orangtua si anak akan "diajak" untuk melihat apa permasalahan yang terjadi, sekaligus dibantu dalam menemukan solusi yang tepat.

     Setelah bermain di konteks PIO apa kelanjutannya? Orangtua yang sebelumnya sudah berkonsultasi dengan konselor di perusahaannya sudah memiliki pemahaman bahwa ada masalah yang harus diselesaikan. Pada akhirnya orangtua yang sebelumnya mengatakan anaknya baik-baik saja mulai menyadari kenyataannya tidak seperti itu dan bersedia bekerja sama dengan pihak sekolah untuk bersama-sama mengatasi masalah. PIO dan Pendi kelihatannya berbeda, tetapi masih ada hubungan di antara keduanya. Bahkan keduanya mampu berkolaborasi melalui teknik wawancara untuk membantu seseorang. Berbicara mengenai anak dalam konteks pendidikan, berhubungan pula dengan orangtuanya. Apabila orangtuanya bekerja bersama rekan-rekan di tempat kerja, konteks PIO pun berlaku. Secara teori, air dan minyak memang tidak akan bersatu secara alami (ilmu pasti). Berbeda halnya dengan psikologi yang bukan sepenuhnya ilmu pasti. Psikologi berkaitan dengan biologi dan kimia (ilmu pasti), tetapi juga berkaitan dengan sosiologi yang merupakan ilmu sosial (bukan ilmu pasti). Itulah sebabnya Pendi dan PIO yang kelihatan sangat berbeda masih dapat saling melengkapi satu sama lain.  Kedua hal berbeda bukan berarti tidak dapat bersatu, tetapi keduanya saling melengkapi dan dapat membentuk sebuah kolaborasi.

Jumat, 26 April 2013

Infeksi Fisik, Sakit Secara Mental

Setiap penyakit  tidak ada yang enak pada dasarnya. Ada saja keluhan sakit ini dan itu, baik secara fisik maupun mental. Penyakit Menular Seksual (PMS) atau Sexually Transmitted Infections (STI) pun sama seperti itu. Siapapun yang mengalami STI sama seperti kita yang tidak mengalaminya, mereka tidak memilih untuk sakit, tetapi sakit itu yang datang pada mereka. Secara sederhana, STI merupakan penyakit yang dapat menular pada saat berhubungan seksual dengan pasangan. Dampak yang dirasakan penderita tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara mental.

     Penggolongan STI secara garis besar meliputi ectoparasitic infections (disebabkan parasit di luar tubuh, misal: pubic lice & scabbies), bacterial infections (disebabkan oleh bakteri, misal: gonorrhea, syphilis, chlamydia, dan lain-lain), viral infections (disebabkan oleh virus, misal: herpes, human papillomavirus, & hepatitis), ada pula yang namanya AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) yang disebabkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Penyebab STI beragam bukan? Bagaimana infeksi-infeksi ini dapat terdeteksi oleh kita? Ada beberapa infeksi yang dapat dilihat secara kasat mata atau dapat langsung dirasakan, sehingga dapat lebih cepat diberikan penanganan. Misalnya ada rasa gatal-gatal yang intens pada kulit sekitar 4-6 minggu setelah infeksi (scabbies). Atau munculnya "borok" pada area genital (chancroid). Agar tidak salah sangka itu adalah STI atau bukan, lebih baik langsung menemui dokter agar dapat memeriksanya secara lebih akurat. Penanganan medis tidak hanya sekadar penanganan setelah terjadinya infeksi, tetapi juga membuat kita mengetahui apa yang terjadi pada tubuh kita. Contohnya untuk mendeteksi genital warts yang muncul akibat human papillomavirus (HPV) dapat dilakukan biopsy, yaitu pengambilan sampel jaringan untuk diuji di laboratorium oleh ahli patologi (umumnya).

     Para penderita STI tidak hanya menderita secara fisik, tetapi mereka juga menderita secara mental. Beberapa STI dapat memunculkan gejala atau berdampak ke permukaan kulit. Entah kulitnya akan menjadi banyak bercak, banyak "bentol" yang gatal, ada, adanya "borok," dan sebagainya. Kalau munculnya "borok" di daerah genital seseorang mungkin tidak mengalami penderitaan mental separah yang memiliki "borok" di wajah misalnya, apalagi kalau dia adalah seseorang yang mementingkan penampilan. Ada pula seseorang yang tidak terlalu mementingkan penampilan, mereka mungkin berkata "ngapain sih lu kayak parno begitu, santai aja lagi.... Gue aja bisa kluar jalan-jalan, payah" Situasi yang sama dapat menghasilkan perbedaan persepsi di antara mereka, ada yang memersepsikan itu tidak ada masalah, ada yang menganggapnya masalah. Bahkan ada yang berkurangnya rasa percaya diri, menjadi pemalu, dan tidak berani bertemu orang lain karena masalah ini. Keinginan untuk membantu itu sangat bagus, tetapi alangkah baiknya kalau kita bayangkan dulu apa yang akan terjadi apabila kita melakukan sesuatu kepadanya. Contohnya dengan kata-kata sebelumnya, jika kita sebagai penderita STI dilontarkan kata-kata "ngapain sih lu kayak parno begitu, santai aja lagi.... Gue aja bisa kluar jalan-jalan, payah." Apa yang kita rasakan?

     Apa yang membuatnya kurang percaya diri setelah terinfeksi STI? Seperti apa pandangan masyarakat sekitar mengenai STI yang ia alami? Seperti apa reaksi dia terhadap komentar masyarakat mengenai STI yang dideritanya? Itu semua mungkin dapat menjadi sebagian kecil dari faktor-faktor penyebab berkurangnya rasa percaya diri. Masalah-masalah itu ada di dalam pikiran orang bersangkutan, sehingga masalahnya bukan hanya karena fisik tetapi lebih dari itu. Tidak tertutup kemungkinan dia memiliki pikiran irasional tertentu, misalnya "kalau mukaku jelek gara-gara STI, ga ada yang mau temenan sama aku..." Ini juga dapat menjadi masalah, cara mudah untuk melawannya adalah melawan dengan pikiran rasional, yaitu dengan logika,."Apa betul namanya berteman itu selalu melihat fisik?" Sebagai orang lain, kita berpikir masalahnya hanya STI yang membuatnya tidak percaya diri. Akan tetapi jangan pernah dilupakan, pemaknaan situasi oleh individu dan faktor lingkungan juga dapat berpengaruh. Seseorang yang mengetahui apa yang terjadi secara rinci adalah individu itu sendiri. Apabila dia berhasil menyadari masalah-masalahnya dan mengatasinya satu per satu, itu akan membuatnya lebih baik dan lebih percaya diri.

~Masalah sebenarnya bukanlah yang dapat dilihat, tetapi apa yang dirasakan~

Kamis, 04 April 2013

Keys to Starry "Memet"

Di Psikologi ada banyak mata kuliah (MK) legendaris, secara umum ada yang tipenya teori, ada yang berupa hitungan, dan ada juga yang tipenya praktik. Kali ini yang kita ungkap adalah alias "memet," sebagai mata kuliah legendaris gabungan teori dan hitungan. Dari generasi ke generasi selalu ada komentar kelas MK ini menimbulkan efek kantuk dan ujian yang mengerikan. Bahkan pernah ada foto yang tersebar di jejaring sosial yang menunjukkan suasana menjelang ujian memet.  Kepala para mahasiswa tertunduk, ada yang mengganjal kepalanya dengan tangannya, ada yang menguap, dan sebagainya. Seperti apa mengerikannya belum saya ketahui, tetapi kalau efek kantuknya sudah terasa.

     Setiap kali masuk kelas seakan-akan tidak ada hasrat belajar karena saat dosen menjelaskan, suaranya sayup-sayup terdengar. Awalnya, Beliau menempatkan mic di dekat mulut, lama-kelamaan semakin turun, suaranya semakin sayup-sayup. Akibatnya, sulit sekali mendengarkan dan memahami penjelasan Beliau, ditambah lagi mahasiswa-mahasiswa yang ada di barisan belakang kelas malah paduan suara alias PaDus (bukan Panda karDus), berisik versus mellow. Itulah yang terjadi... Di Psikologi diajarkan untuk melatih empati, salah satunya adalah menggunakan konsentrasi full maksimum untuk mendengarkan siapapun yang sedang berbicara, termasuk mendengarkan dosen. Kendala seperti ini sangat sulit diatasi, ada yang "ssssstttt!!!!!" sampai 3 kali atau lebih bibirnya maju 5 sentimeter juga tetap berisik. Daripada lelah melakukannya sampai bibir maju 15 sentimeter, lebih baik diam dan tetap fokus.

     Fokus ya fokus.... Efek kantuk juga memengaruhi fokus rupanya. Apa yang bisa saya kerjakan? Hanya menatap, mendengarkan dosen, dan mencatat materi ekstra mencatat berapa kali saya menguap menggunakan turus (tally). Rekor selama ini adalah 18 kali menguap dalam 2 jam belajar di mata kuliah legendaris yang satu ini. Ternyata perilaku ini mengundang ricuh gemuruh dari teman-teman sebaris di kelas. "Terserah you mau tertawa atau apa... Saya hanya bisa menikmati hidup di kelas ini...TT" Daripada terus-menerus "galau" mencerna penjelasan hitungan yang hampir selalu mengakibatkan MMS ("Mutung" Memet Syndrome). NOTE: "Mutung" itu bukan bahasa yang dapat dijumpai sebagai bahasa formal di Indonesia, ini hanya bahasa artifisial dalam pergaulan. "Mutung" adalah sebuah kondisi saat seseorang tidak bisa lagi berpikir apa-apa karena sudah terlalu stres (umumnya dikenal sebagai "blank" dalam pergaulan).

     Saya yang awalnya memang tidak suka hitungan semakin "illfeel" dengan hitungan. Tibalah musim saat-saat mempersiapkan diri untuk Ujian Tengah Semester (UTS). Ketika melihat jadwal... JRRREEEENNNGG!!! Memet ujian hari Senin 8 April 2013, ujian pertama pula. Oh.. My.. God... Hasrat belajar memet masih kecil, Hasrat untuk MK lain lebih besar, ditambah lagi bobot UTS cukup besar, lengkaplah sudah. Di tengah kemelut duniawi ini tanpa sengaja saya menyadari sesuatu. Saya teringat perkataan guru BK SMA dulu, "Anak IPA memang difokuskan untuk berfokus pada 1 tujuan dengan berbagai solusi, makanya dominan hitungan. Kalau anak IPS difokuskan untuk belajar berpikir secara abstrak dan luas, makanya lebih banyak teori." Memet itu perpaduan teori dan hitungan, artinya melatih untuk fokus pada tujuan dan berpikir abstrak dan luas, ternyata ini maksudnya.

     Dalam minggu penuh kemelut mempersiapkan UTS, tiba-tiba muncul kunci-kunci jawaban untuk latihan soal memet selama ini ekstra ringkasan. WOWWW!!! AMAZINGGG!!! Baiklah... Kunci-kunci ini akan sangat membantu kami semua untuk belajar, hasrat belajar pun sudah muncul berkat perkataan guru BK SMA dan kunci-kunci. Mungkin nanti selama belajar akan merasa pusing-pusing, sakit perut, "eneg", dan tentunya "mutung". Mau diapakan lagi... Nikmati saja... Keys to Starry "Memet," kunci-kunci yang membantu kelulusan mahasiswa dalam MK memet. Keys (Kunci-kunci) yang dimaksud tentu saja kunci jawaban, ringkasan, dan semangat yang baru muncul saat menjelang ujian.  Kunci-kunci itulah yang menjadi terobosan pertama untuk membuka gerbang kelulusan MK memet semester ini. Belajar memet memang selalu mengakibatkan sakit kepala dan jantung berdebar-debar, makanya dikatakan "starry," mata berbintang-bintang alias kunang-kunang. Usaha sekecil apapun mendatangkan hasil, lumayan selama ini selalu mengerjakan tugas, jadi tidak terlalu sulit untuk mengulang materinya. Bye-bye MMS..... (I don't wanna to see you in the next semester)