Jumat, 31 Mei 2013

Erotic Art

Seni itu sesuatu yang indah, enak untuk dilihat, nyaman di mata, nyaman di hati. Ketika melihat seni erotis, misalnya patung David yang dibuat oleh Michaelangelo bagaimana? Ada yang berpikir itu terlalu terbuka, tidak sesuai adat dan lain-lain sebagainya. Seni erotis yang dimaksudkan adalah bagaimana seseorang menciptakan sebuah karya seni dengan meletakkan unsur erotis di dalam karyanya, misalnya meletakkan unsur seks di dalamnya. Bukan hanya seni patung, seni lukis pun demikian. Ada yang melukis seseorang dalam kondisi tidak berpakaian sama sekali, baik secara nyata maupun secara simbolis.

Contoh lukisan Pablo Picasso
Sumber: sains.kompas.com

Wajah Patung David
Sumber: vivreaveclart.blogspot.com
     Pertama kali saya melihat lukisan dan patung semacam ini pun berpandangan demikian. Akan tetapi, setelah mengetahui latar belakangnya kita pun dapat memahami karya seni tersebut. Misalnya, lukisan Pablo Picasso. Beliau melukis seorang wanita telanjang dalam aliran kubisme, yang menggunakan bangun-bangun geometris untuk membentuk obyek dalam lukisannya. Akhirnya obyek tersebut terkesan simbolis. Picasso sangat mencintai seorang wanita yang ada di dekatnya, sehingga Beliau melukis wanita tersebut untuk mengabadikan kenangannya dalam sebuah luksian. Maknanya indah bukan? Bagaimana dengan patung David yang sebelumnya kita singgung? Saya pernah menonton sebuah film yang membahas kisah kehidupan Michaelangelo. Yang dapat saya tangkap dalam film tersebut, Michaelangelo memiliki kecenderungan besar dalam kepribadian perfeksionis. Segala sesuatu ingin dibuatnya sesempurna mungkin, bahkan Beliau tidak mudah mentolerir sebuah kritik terhadap karyanya. Ada satu unsur estetika dalam seni rupa, "complexity." Mudahnya, semakin rumit, semakin indah karya seni itu. Untuk membuat patung David, Michaelangelo membedah mayat di sebuah Gereja. Terkesan mengerikan, tetapi tujuannya adalah untuk mempelajari struktur dalam tubuh manusia. Itulah yang membuat anatomi manusia yang dibuat pada patung David terkesan sangat sempurna, terutama bagian matanya. Seloah-olah mata itu memancarkan sinar kehidupan. Berbeda sekali jika dibandingkan patung lainnya, inilah ciri khas karya Michaelangelo dalam patung David.

Patung David
Sumber: www.tokyotimes.com
     Itu seni erotis zaman dahulu di Eropa, di sanalah awalnya seni ini berkembang. Bagaimana dengan unsur erotis itu di era masa kini? Sekarang bentuknya jauh lebih beragam, tidak hanya sekadar seni lukis dan seni patung. Sesuatu yang erotis dapat muncul di berbagai media, misalnya media cetak, video, dan lain-lain. Kita pilih salah satu contoh, "video porno" atau yang biasa disebut "blue film." Seks memang menjadi tema utamanya, tetapi itu tidak disertai edukasi mengenai seks dan membuat penonton terangsang ketika menontonnya. Di video ini dapat terpampang berbagai macam posisi dalam berhubungan seksual. Inti hubungan seksual adalah menikmati hubungan tersebut, makna di balik hubungan itulah yang lebih diutamakan bukan sekadar mencapai orgasme. Selain itu juga menampilkan hubungan seksual antara sado/masochist, yang ada unsur "sakit" dalam hubungan seksual, dengan menyebabkan sakit (sexual sadism) dan merasa sakit (sexual masochism) membuat mereka terangsang. Penonton yang kurang mengerti mungkin saja meniru adegan-adegan di video ini ketika berhubungan seksual dengan pasangannya. 

     Apa yang terjadi? ada keluhan, "aduhh suami saya itu ya, gayanya macem-macem yang ada saya sakit-sakit, encok, pegel-pegel." Kalau istrinya bukan masochist, tentu merasa tidak nyaman. Bagaimana kualitas hubungan suami-istri di antara keduanya jika hal ini terus berlangsung? Menontonnya tanpa pemahaman, justru membuat pikiran mengarah ke sana dalam kehidupan sehari-hari. Terus menerus berpikir demikian tentu tidak sehat, tidak sejahtera bagi pasangan secara mental, begitu pula pada pelakunya. Ada pertanyaan, "bagaimana jika konteksnya terapi seksual? di dalamnya kan kadang-kadang digunakan video ini untuk merangsang?" Memang ada cara demikian, itu untuk membantu seseorang yang mengalami gangguan seksual. Video yang dipilih tentu tidak sembarangan, pasti diseleksi terlebih dahulu, yang mana yang paling sesuai untuk masalah klien. Selain itu video ini juga dapat digunakan untuk mengajari pasangan yang baru menikah untuk melakukan hubungan seksual. Khususnya bagi mereka yang belum mengerti bagaimana caranya, pengajaran demikian dapat bermanfaat. Lebih efektif lagi jika menontonnya bersama pasangan, kemudian mendiskusikannya kembali dengan pasangan/ Mengapa? Agar tidak terjadi posisi yang dikatakan "gayanya macem-macem," segala sesuatu tentu menajdi keputusan klien akan menjalaninya dengan cara seperti apa. Tidak ada yang mengatakan tidak boleh menonton video demikian, tetapi perlu diingat menontonnya tidak hanya sekadar untuk menikmati, alangkah baiknya jika disertai pemikiran logis untuk menyaring konten dari film tersebut yang kurang tepat.

Kunci Menuju Masa Lalu

     Hari Senin yang lalu seorang teman menyalahkan saya atas sesuatu yang tidak saya ketahui informasinya dengan langsung berbicara dengan intonasi tinggi alias membentak. Bahkan dia seakan-akan tidak mau melihat pekerjaan saya dan meminta saya untuk langsung menyatukannya ke dalam makalah. Saya merasa pekerjaan saya tidak dihargai. Padahal seharusnya jika tugas itu tidak saya prioritaskan, saya sudah dapat menyelesaikan tugas lain yang memiliki tenggak waktu di minggu ini. Apa artinya pengorbanan saya di malam sebelumnya, berusaha mencari buku-buku pengganti dan mengetik semuanya hingga selesai, hasilnya tidak dihargai. Entah mengapa, rasa amarah bergejolak begitu kuatnya, sehingga saya tidak dapat menahan emosi lagi dan terdiam selama di ruang diskusi. Ketika dia memberikan kue kepada saya, saya pun tidak mau menerimanya karena saya ingin menghindar darinya sementara waktu. Di satu sisi saya ingin pertemanan kami yang sudah lebih dari tiga tahun itu tetap berlangsung, tetapi di lain sisi saya membenci apa yang dilakukannya kepada saya. Saat itu yang saya inginkan adalah dia mengintrospeksi dirinya dan membuat perkiraan apa yang membuat saya marah besar kepadanya. Terserah itu tepat atau tidak, jika seseorang berani melakukannya, saya yakin itu ada keinginan untuk berubah. Saya pun melakukan introspeksi diri, saya tidak mengerti mengapa orang lain tidak marah jika disalahkan tetapi saya sangat marah jika dibentak sekaligus disalahkan. Hanya itu saja yang saya pikirkan dalam dua hari.

sumber: www.birthpangs.org

     Terdapat dua kemungkinan yang membuat saya menjadi oversensitif seperti itu setelah mengintrospeksi diri, salah satunya yaitu trauma. Keduanya sangat berkaitan dengan salah-menyalahkan, akibatnya fatal. Sekitar sepuluh hari saya harus bertahan dalam kondisi depresi. Saya merasa kepercayaan saya dikhianati, ditusuk dari belakang, diperlakukan seperti bukan manusia yang memiliki perasaan. Bahkan saat itu apa yang dialami oleh saya tidak diperhatikan, justru nama institusi yang dipentingkan. Apakah saya ini tidak berharga dan institusi jauh lebih berharga sehingga masalah itu dibebankan kepada saya yang tidak tahu apa-apa? Merasa bahwa diri sendiri tidak berharga itu bukan sesuatu yang dapat dielakkan. Air mata pun terus mengalir bersamaan dengan hati yang tersayat-sayat. Tahun demi tahun berlalu, saya merasa sudah bisa menerima bahwa saya mengalami itu. Ternyata trauma itu masih terus mencabik-cabik diri ini tanpa disadari. Setiap disalahkan, saya bereaksi dengan cara yang sama. Langsung marah besar, lalu terdiam beberapa hari, dan menarik diri dari lingkungan sosial. Itu pula yang melatarbelakangi mengapa kata "saya memaafkan Anda" itu benar-benar sulit terucap apabila seseorang menyalahkan saya dengan membentak.

     Apa yang saya alami selalu merusak hubungan keluarga dan pertemanan yang sudah terjalin. Saya terluka, orang lain pun terluka, sebenarnya saya ingin sekali lepas dari semua itu. Saya tidak tahu caranya, jika masalahnya serumit ini. Bersyukur sekali hari ini ada acara membedah buku yang berkaitan dengan trauma. Belajar dari narasumber yang pernah mengalami trauma itulah yang menjadi alasan saya ikut acara ini. Saya ingin sembuh, hanya itu motivasi yang tertanam di benak ini. Di dalam acara ini dibahas mengenai masa lalu traumatis narasumber, disertai bagaimana Beliau bangkit dari pengalaman traumatisnya. Selama acara, tiga orang pakar membahas buku ini dari perspektifnya masing-masing. Setiap saya mendengarkan pembahasan itu, terbayang trauma yang pernah saya alami di benak saya. Akhirnya saya melihat bahwa trauma yang dialami narasumber itu jauh lebih menyakitkan dari yang saya alami. "Payah, cuman karna trauma segitu aja lu uda nge-drop, gimana kalo lu jadi dia yang traumanya lebih parah lagi?" itu yang saya ucapkan pada diri saya sendiri.

sumber: littlechandlerfamily.blogspot.com
     Kendalanya adalah penerimaan diri. Jika membaca di buku, tahap penerimaan diri adalah ba, bla, bla... Mudah sekali! Coba lakukan! Habislah sudah.. "Sesuatu yang dipelajari di buku terkadang sulit untuk dipraktikkan seperti yang saya alami sekarang. Setiap tahap dimana kita berada, kita masih mungkin mundur ke tahap sebelumnya dalam tahap penerimaan diri, adanya konflik merupakan hal yang wajar dalam diri seseorang ketika menghadapi masalah." Dari luar terkesan menerima diri, tetapi apakah "hati kecilmu" sudah menerima dirimu sendiri? Penerimaan diri terkadang terlihat semu, tetapi jika hati kecil sudah berkata "saya menerima diri," tentu itu asli. Setiap manusia itu unik, memiliki cara tersendiri dalam menyelesaikan masalah. Itulah yang saya tangkap dari proses belajar di acara ini. Selain itu, yang terpenting adalah berani membuka kenangan trauma dan menyadari adanya "protective factor," yang merupakan apa hal positif yang kita miliki itulah yang akan menjadi  dukungan bagi kita. Misalnya, "saya punya teman-teman yang mengasihi saya," "saya pasti bisa menyelesaikan masalahnya," dan lain-lain. Itulah kunci yang saya dapatkan untuk kembali membuka masa lalu yang kelam dan kembali menghayatinya dengan perspektif berbeda untuk menerima diri sendiri. Pilihan ada di tangan saya, saya yang harus menentukan untuk menggunakannya atau tidak. Jika saya menggunakannya, ada kemungkinan saya dapat menyembuhkan diri sendiri dan melepaskan diri dari trauma. Apabila saya mengubur kunci itu di dalam tanah, saya membiarkan trauma menghantui saya dan memangsa saya perlahan-lahan.

     Sepanjang perjalanan saya terus berpikir, apakah saya mampu menggunakan kunci itu atau tidak. Selama ini saya menjauh dari teman-teman karena saya tidak memiliki keberanian berada di tengah-tengah mereka. Jika saya ada bersama mereka, saya tidak ingin mereka merasakan perasaan saya yang sakit ini. Namun, pada kenyataannya jika bersama mereka, saya akan semakin sakit, mereka ikut sakit, itu yang tidak saya inginkan. Sepanjang jalan, saya terus bertarung dengan diri saya sendiri, untuk menggunakan "kunci menuju masa lalu" atau tidak. Murung itu sudah pasti, setiap teman bercanda, saya pun tidak tahu dia berkata apa, hanya tersenyum tanpa tertawa. Mungkin saya berpikir bahwa saya haru menjalani ini semua seorang diri. Ketika teman saya mengajak belajar bersama di hari Selasa minggu depan dan mengatakan "gue ajak dia gapapa kan?" "Dia" yang dimaksudkan itu adalah orang yang telah membuat saya marah besar. Saya semakin murung, di dalam hati saya bertanya, "Tuhan, sebelumnya Engkau mempertemukan aku dengan teman dari dia, sekarang Engkau akan mempertemukan aku dengannya. Apakah semua ini rencana-Mu? Apakah ini pertanda aku harus mulai membuka pengalaman traumatis itu dan mulai menerima diri sendiri serta memaafkan dia?" Akhirnya saya bertekad untuk menyelesaikan tanggung jawab yang tertinggal sebelum memaafkan dan meminta maaf juga. Tujuannya agar di antara kami ada rekonsiliasi, supaya dapat menutup masa lalu dengan lebih baik dan membuka lembaran berikutnya di hari yang baru. 

     Ternyata selama ini saya memiliki keluarga dan teman-teman, serta rekan-rekan lainnya, meskipun terkadang mereka terkesan apatis, mereka keras, saya percaya mereka ingin saya menjadi lebih baik. Mereka begitu dekat, tetapi saya belum menyadarinya selama ini. Mereka yang akan menuntun saya ke masa depan yang lebih baik. Mereka selalu mengatakan "lu mau cerita? kalo ga mau gapapa juga sih, gue ga maksa." Langkah awal adalah berani menceritakan pengalaman trauma itu sendiri. Selanjutnya saya harus memulai dengan menyadari protective factor, serta menjadikannya kekuatan untuk bangkit dan melepaskan diri. Kesannya mudah, tetapi sulit, karena seringkali faktor ini terlupakan. Siapapun termasuk saya cenderung memikirkan sesuatu dari sisi buruknya saja dan melupakan sisi positifnya. Padahal itu kuncinya. Ketika selesai menutup buku masa lalu, saya percaya segalanya akan menjadi lebih baik. Sesuatu yang menyenangkan baru akan didapatkan ketika saya bersedia untuk mengorbankan sesuatu untuk mendapatkannya. Saya hanya mampu melakukan yang terbaik, terserah akan menjadi hasil yang seperti apa. Seperti apapun hasilnya tidak akan meninggalkan penyesalan jika mau bekerja keras dengan maksimal.

And when your hope crashes down. Shattering to the groundYou, you feel alone. When you don't know which way to go. And there's no signs leading you home. You're not alone.


~Demi Lovato- Gift of a Friend~ 

Selasa, 28 Mei 2013

SS (Stress and Stress)

Di satu sisi hubungan seksual menghasilkan sebuah kenikmatan bagi masing-masing pihak yang melakukannya. Namun, di lain sisi hubungan seksual ini dapat dipengaruhi stres, sehingga kenikmatan yang diraih menjadi hilang. Hubungan tersebut juga dapat menyebabkan stres, apabila tidak memperhatikan kondisi, aturan, dan ketentuan-ketentuan berlaku. Misalnya, salah satu pasangan ingin sekali berhubungan seksual, tetapi pasangannya masih belum siap melakukannya, dengan kata lain belum bersedia. Maaf, Anda kurang beruntung. Nah, dalam tulisan kali ini kita akan mencoba mengupas sedikit bagian dari hubungan seks dengan stres. Bagaimanakah hubungan antara keduanya? (yang pasti bukan jawaban "hubungan mereka baik-baik saja, karena sudah lama tak jumpa" yang dimaksud)

     Stres yang umumnya dialami ketika berhubungan seksual itu biasanya disebabkan oleh pikiran. Pikiran tersebut berisi apa? Tentu berisi masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari, baik masalah itu berkaitan dengan diri sendiri, dengan orang lain, pekerjaan, dan sebagainya. Selama bersenggama, tentu pikiran yang muncul itu adalah sesuatu di luar masalah dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin membayangkan pasangan, sambil melakukan fantasi seksual, dan lain-lain selain masalah hari itu. Jangankan konteks berhubungan seksual, jika memikirkan masalah lain berlarut-larut dalam pekerjaan, dapat menurunkan performa atau tidak? Sama halnya dengan hubungan seksual, jika kita membayangkannya sebagai "kerja sama antarpasangan" bagaimana? Mereka sama-sama bekerja sama untuk memperoleh kenikmatan dalam hubungan tersebut, bukankah itu tujuannya? Akan mencapai orgasme atau tidak, setidaknya memperoleh kenikmatannya meskipun sedikit tetapi berarti. Namanya konteks kerja, tentu ada stres yang dapat berpengaruh pada performa, dalam hal ini performa masing-masing pasangan.Bagaimana halnya jika stres terlalu besar? Misalnya salah satu pasangan mengalami trauma berkaitan dengan alat vitalnya atau dengan penampilannya. Ketika bersenggama, kekhawatiran itu mulai bermunculan dan mendominasi pikirannya.

     Seperti yang kita ketahui... fisik berpengaruh pada pikiran, pikiran juga berpengaruh pada fisik. Ketika kita merasa sakit perut, apa yang dipikirkan? Minum obat, menghindari makanan pedas dan asam, istirahat, dan lain-lain. Apa pikiran ini muncul jika kita sehat? Ini pengaruh fisik pada pikiran. Sekarang, jika berpikir tugas terlalu berat, membuat stres... sakit kepala? Sakit maag kambuh? Itulah pengaruh pikiran terhadap fisik. Biasanya yang terjadi adalah ketika pikiran itu muncul selama bersenggama, seseorang menjadi tidak mampu merasakan kenikmatan berhubungan seksual karena tidak dapat terangsang. Hubungan seksual lebih mengutamakan kualitasnya (seberapa nikmat) bukan kuantitasnya (berapa lama bersenggama). Akibatnya kualitas hubungan itu menjadi berkurang meskipun diperbanyak kuantitasnya. Sebab lainnya dapat karena salah satu pasangan belum siap berhubungan sementara pasangannya sudah ingin melakukan. Sesuatu yang dipaksakan memang tidak baik. Ketika dipaksa, kedua pihak menjadi sulit berkoordinasi, akibatnya kualitas hubungan pun berkurang.

     Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan? Mengurangi stres itu dapat menjadi solusi yang tepat. Ada yang melakukannya dengan makan cokelat sebanyak-banyaknya, mengonsumsi alkohol. Ada pula yang mengatasi emosi dengan yoga, atau menyiasati penampilannya. Setiap orang memiliki cara tersendiri, sifatnya memang subyektif. Salah satu cara efektif bagi seseorang, tetapi belum tentu efektif bagi orang lain. "Menyiasati penampilan" merupakan sesuatu yang baru kali ini saya dengar. Ternyata dengan menyiasati penampilan, misalnya dengan merias wajah dengan warna yang lembut dapat berpengaruh pada suasana hati. Saya memang tidak begitu mengerti kalu untuk riasan wajah. Coba kita andaikan menyiasati penampilan dengan merias wajah, cara berpakaian, dan lain-lain. Apabila mengenakan pakaian yang membuat nyaman, bagimana rasanya? Seseorang dapat menjadi lebih percaya diri dari sebelumnya, suasana hatinya juga lebih menyenangkan. Kalau merasa senang, stres dapat berkurang. Selama senang, lupa dengan stres. Setelah kesenangan berakhir, stres pun kembali, ulangi lagi, dan seterusnya, itulah proses. Sebuah proses membutuhkan waktu, perlahan-lahan itu dapat berhasil. Setelah itu mulai berhasil, masalah dalam hubungan seksual mulai teratasi, kualitas hubungan pun akan kembali perlahan-lahan seperti semula.

Senin, 20 Mei 2013

Look Within Myself

Topik sama, sensasi berbeda. Selama ini hanya berbicara mengenai keterampilan wawancara, sekarang sudah mengarah kepada praktiknya. Seperti yang sering kita dengar, dunia teori dan dunia praktik berbeda. Seseorang yang hebat dalam hal teori belum tentu hebat dalam hal praktik, berlaku pula sebaliknya, bahkan ada yang unggul dalam kedua dunia tersebut. Kuncinya adalah belajar, belajar, dan belajar. Penerapan praktik wawancara dalam psikologi itu luas, tetapi kali ini hanya sempat mencicipi sebagian kecilnya saja, yaitu satu kasus konteks psikologi industri organisasi (PIO), satu kasus psikologi pendidikan, dan satu kasus psikologi klinis, serta satu pengalaman praktik wawancara di panti sosial tuna daksa. Kesempatan-kesempatan ini adalah kesempatan yang langka, kapan lagi memasuki laboratorium wawancara, lalu berperan sebagai pewawancara, klien, dan pengamat? Bahkan sempat menjadi pewawancara sekaligus pengamat dalam wawancara sesungguhnya bersama seorang tuna daksa.

Sumber: zamadi.blogspot.com

     Pertama kali memasuki laboratorium, jujur saja saya merasa sangat gugup karena merasa bingung dimana pengamatnya (padahal bersembunyi di balik dinding tipis dan sedang asyik mengamati), kurang menguasai PIO, dan langsung dihadapkan pada seorang senior yang berperan sebagai klien. Saya seringkali menghela napas, mengintip panduan pertanyaan ketika bingung apa yang ingin ditanyakan, ditambah lagi gugup karena yang saya hadapi adalah senior yang saya tidak kenal dan sorot matanya mengerikan menurut saya (padahal orangnya ramah). Selama wawancara, teringat perkataan dosen di kelas, "Kamu ga perlu takut sama siapa yang kamu wawancara, sekalipun dia profesor. Dalam wawancara kalian itu sederajat, tidak perlu merasa lebih rendah darinya atau semacamnya." Perlahan-lahan perasaan gugup itu hilang ketika mulai berfokus pada cerita klien dan mengabaikan persepsi menyeramkan itu. Ternyata fokus itu berlebihan, menyebabkan saya terlalu asyik mencatat sampai melupakan kontak mata dengan klien. Bahkan intonasi suara pun menjadi terkesan kurang ramah dan lupa merangkum cerita klien dari awal sampai akhir.

Pertahanan pada klien diibaratkan sebagai lapisan yang harus ditembus
untuk mengerti seperti apa sisi dalamnya.
Sumber: specialtyfabricsreview.com
     Setelah episode itu berlalu, langsung dihadapkan pada seorang tuna daksa dari panti sosial. Sebelumnya saya belum pernah wawancara dengan klien yang cukup sensitif. Awalnya, saya berpikir, "Okay, harus hati-hati waktu bicara, sekali salah habislah sudah." JREENGGG!!! Seorang subyek pun muncul di hadapan kami, pertanyaan dari kakak pembimbing hanya satu, "Siapa yang bersedia wawancara Bapak ini?" Rasa "malu-malu kucing" bercampur perasaan takut salah menjadi "galau." Tiba-tiba saya didorong sedikit dari belakang dan dikatakan "Udah, jangan malu-malu." Menelan air liur sendiri untuk menahan rasa galau, saya pun berjalan perlahan ke arah Bapak tersebut sambil mengingat kesalahan-kesalahan saat wawancara dalam konteks PIO. Pertama kali tentunya saya sapa terlebih dahulu, berbincang-bincang sebentar agar kami merasa nyaman, wawancara pun dimulai. Di satu sisi saya bingung karena klien cenderung menutup diri (defensif) karena trauma, di satu sisi saya merasa ini kesempatan bagus untuk latihan menggali informasi dari seseorang yang defensif. Sebelumnya saya memang tidak tahu harus berbuat apa, tetapi saya mencobanya dengan mengingatkan bahwa Beliau boleh mengungkapkan perasaannya dan tidak perlu malu-malu, Beliau boleh bercerita supaya merasa lebih ringan. BINGO! Kesuksesan pertama, Beliau mulai membuka dirinya perlahan-lahan. 

     Namun ada kesulitan lainnya, ketika dilontarkan pertanyaan lain Beliau dapat menjawab dengan lanjutan jawaban sebelumnya, padahal sudah selesai menjawab. "Ada apa sebenarnya dengan Bapak ini?" Saya mencoba menelusuri ceritanya, dan memperbolehkan Beliau melanjutkan cerita sampai dirasa cukup (saat emosinya sudah tampak dari ekspresi wajahnya). Kemudian saya lanjutkan pertanyaan berikutnya, untungnya Bapak tersebut dapat menjawab keluar dari cerita itu dan sesuai pertanyaannya. Peristiwa ini terjadi berkali-kali, kesannya hanya berputar-putar dalam topik yang sama. Di tengah wawancara saya terkejut karena Beliau menangis, hampir saja terlarut dalam perasaannya. Mungkin karena terlalu lelah belum terbiasa dengan hal ini, lagi-lagi saya lupa merangkum wawancaranya (satu kesalahan terulang). Pengalaman yang cukup sulit bagi pemula, tetapi saya merasa puas karena dapat membantu Bapak ini dengan membuatnya bercerita mengeluarkan emosinya yang terpendam, kemudian menutupnya kembali agar Beliau tetap tersenyum seperti semula.

    Lagi-lagi kami kembali ke dalam laboratorium untuk latihan wawancara dalam konteks psikologi pendidikan dan psikologi klinis. Entah mengapa saat latihan konteks pendidikan, bibir ini bergerak seperti otomatis. Pertanyaan terus keluar setelah mendengar cerita klien, hampir tidak mengintip catatan. Usaha melakukan kontak mata pun lebih banyak daripada sebelumnya (meskipun klien tidak menanggapinya). Mungkin karena kasus pendidikan itu cukup menarik, saya terlalu fokus pada kontennya saja, sehingga saya tidak ingat untuk merangkumnya dari aspek perasaan klien, setidaknya saya sudah merangkum wawancara kali ini. Setelah wawancara, saya merasa lebih puas karena dapat menggali informasi lebih banyak dari sebelumnya. Selain karena klien terbuka, saya juga lebih berminat di pendidikan daripada PIO, akhirnya dapat mengajukan lebih banyak pertanyaan.

Sumber: www.awe-inspiringquotes.com
    Praktik terakhir dalam konteks psikologi klinis yang terjadi hari ini. Merasa semangat, tentu "iya" jawabannya. Saya memang menyukai dunia psikologi klinis, ketika berbicara mengenai psikologi abnormal saya sangat tertarik untuk mendengarkan. Kali ini mendapatkan kesempatan praktik dalam hal itu, tentu saya semangat. Saya mengingat pengalaman dosen bahwa dalam konteks klinis pun harus berhati-hati dalam hal kecil, misalnya berjabat tangan. Akhirnya saya berperan sedikit pasif untuk berjabat tangan, lebih baik menunggu klien yang melakukannya saja. Dalam praktik sesungguhnya, saya tidak dapat mengetahui apa gangguan seseorang. Mungkin saja gangguan itu membuatnya sensitif sekali terhadap sentuhan, dapat menjadi  berlebihan reaksinya atau menjadi tidak nyaman, itulah alasannya saya tidak berjabat tangan terlebih dahulu. Di satu sisi saya merasa kurang nyaman dengan tidak berjabat tangan, sebagai gantinya saya bermain dengan intonasi suara untuk terkesan ramah (semoga saja berhasil). Ketika klien masuk, klien langsung menampilkan salah satu gejala gangguan yang diangkat menjadi topik wawancara saya. Klien pun berperan menjadi pencemas yang berlebihan. Ternyata itu membuat saya hampir mengalihkan perhatian hanya pada simtom yang diperankannya dan langsung memikirkan kriteria gangguan psikologis.

     "Please.. please... jangan sekarang kalau distract...." yang saya pikirkan saat itu. Supaya dapat mengembalikan perhatian, saya mulai bertanya mengenai diri klien, keluarganya, dan teman-temannya untuk menelusuri simtomnya secara perlahan dari aspek lain. Selama menjawab pertanyaan, klien pun tetap menampilkan simtom-simtom itu. Akhirnya saya mencoba fokus pada poin-poin jawabannya, lalu baru mulai mencoba menempatkan diri sebagai pencemas berlebihan. Ternyata hal ini membuat saya lebih mampu fokus pada alur ceritanya dan menangkap perasaan klien, merangkumnya sebagian dan melanjutkan wawancara sampai pada rangkuman akhir. Ternyata dalam kasus klinis, salah satu tantangannya adalah perhatian yang mudah terpecah ketika melihat simtom. Dengan langsung mengklasifikasikannya ke dalam gangguan, tentu bukan cara yang benar. Seorang klien harus diterima apa adanya, termasuk pengalaman masa lalunya yang mengakibatkan simtom itu muncul. Itulah pelajaran yang saya dapatkan dalam latihan ini.

     Melalui serangkaian proses latihan ini, ternyata ada perubahan yang saya alami. Awalnya dapat dikatakan saya ini penakut kalau diminta wawancara. Pikiran-pikiran bahwa saya ini lebih lemah dari klien selalu muncul. Selama wawancara pun cenderung merasa gugup karena terlalu fokus pada pikiran itu, akibatnya menjadi bingung ingin menanyakan apa pada klien. Bahkan sudah berkali-kali wawancara, ada saja aspek keterampilan wawancara yang dilupakan, itulah gunanya latihan agar semakin mahir wawancara. Melalui proses ini saya mulai belajar bahwa pewawancara dan klien sama derajatnya dalam hal wawancara. Asalkan fokus pada cerita klien, pengalamannya, dan apa yang dipikirkan/dirasa olehnya memampukan kita mengajukan pertanyaan. Kecenderungan menutup diri selalu ada pada setiap klien, tergantung pada apa yang kita lakukan untuk membuka pertahanannya, masuk ke dalam dunianya, dan memahaminya lebih dalam. Keterampilan wawancara memang bukan hal yang sederhana, tetapi kompleks. Sesuatu yang kompleks memang terlihat sulit, tetapi melalui latihan berkali-kali, hal itu akan menjadi menarik. Menarik untuk dikuasai, menarik untuk dipraktikkan, dan menarik untuk dikembangkan.

Sabtu, 18 Mei 2013

Paraphilia itu Pilihan?

Masalah-masalah cenderung dipandang sebagai sesuatu yang tidak lazim, khususnya dalam hal gangguan seksual. Gangguan seksual itu ada yang dikatakan sebagai paraphilia. Paraphilia  ini bermacam-macam, tetapi intinya setiap gangguan yang tergolong di dalamnya merupakan ketertarikan seksual terhadap obyek yang berbeda dari yang biasanya terjadi sekitar 6 bulan. Di sini terjadi sebuah penyimpangan dalam ketertarikan seksual, sehingga disebut para (penyimpangan atau deviasi) dan ketertarikan seseorang (philia). Mungkin bagi orang lain ini merupakan hal yang tidak biasa yang dianggap bukan sesuatu yang wajar, namun apabila kita sebagai penderitanya bagaimana perasaan kita ketika dipandang demikian?

source: fineartamerica.com
     Sebelum membahasnya lebih lanjut, di sini kita tidak membicarakan orientasi seksual penderita, tetapi lebih mengarah pada apa yang dialaminya dalam kondisi paraphilia. Paraphilia meliputi fetishism, transvestic fetishism, pedophilia, voyeurism, exhibitionism, frotteurism, sexual sadism, dan sexual masochism. Fetishism  merupakan ketertarikan pada benda-benda tidak hidup, yang disebut fetish. Fetish umumnya dapat berupa benda-benda yang berkaitan dengan seseorang, misalnya pakaian, benda berbahan karet, atau sesuatu yang berkaitan dengan kaki. Ketertarikan itu dapat membuat seseorang terangsang, bahkan mencapai tahap orgasme. Kalau transvestic fetishism ditandai dengan "cross-dressing," seseorang mengenakan pakaian lawan jenisnya agar terangsang. Ini tidak sama dengan yang dikatan sebagai "waria," menjadi waria itu karena faktor lain. Misalnya ada yang memilih demikian untuk sekadar mencari nafkah, tuntutan pekerjaan, dan lain-lain bukan untuk menikmati kepuasan seksual. Pedophilia adalah ketertarikan pada anak-anak yang belum mencapai pubertas. Umumnya dilakukan oleh seseorang yang sudah mencapai 16 tahun atau setidaknya 5 tahun di atas usia anak. Penderita voyeurism ditandai dengan perilaku mengintip pasangan yang sedang melakukan hubungan seksual atau seseorang yang sedang mengganti pakaian. Aktivitas ini merupakan sesuatu yang membuat penderita tertarik dan terangsang, sehingga terus menerus melakukannya untuk memperoleh kenikmatan. Exhibitionism ditandai dengan perilaku menunjukkan alat kelamin seseorang di hadapan orang yang tidak dikenal. Frotteurism umumnya terjadi di tempat-tempat umum, penderita menyentuhkan alat kelaminnya atau daerah erotisnya (daerah yang menghasilkan rasa nyaman apabila disentuh) kepada orang lain yang tidak dikenal. Sexual sadism berupa ketertarikan untuk menyakiti pasangan saat berhubungan seksual, baginya dengan menyakiti ia akan memperoleh kepuasan dalam hubungan seksual. Berbeda dengan sexual masochism. Seseorang yang mengalami sexual masochism memperoleh kepuasan dalam hubungan seksual apabila disakiti.

     Banyak sekali jenis dari paraphilia, tetapi intinya seseorang tidak sanggup mendekati orang lain yang setara dengannya (misalnya usia yang setara) dengan cara yang umum dilakukan. Contohnya seseorang yang mengalami pedophilia, mengapa dia lebih memilih anak-anak daripada individu yang sebaya? Umumnya korban tidak menyadari bahwa orang tersebut menderita gangguan seksual meskipun mereka merasa terganggu berada di sekitarnya. Apabila sedang mengantre untuk naik bus di tempat umum tiba-tiba ada yang menggesek-gesekkan tubuhnya/area alat kelamin kepada kita, kita cenderung merasa "apa sih ni orang, berani banget sih, emangnya gue apaan digesek-gesek?!" Mengapa harus dengan menggesek-gesekkan bukan langsung menjalin hubungan dengan berkenalan terlebih dahulu dan lain-lain? Itulah yang dicari tahu penyebabnya. Seorang penderita gangguan bukan berarti dia memilih untuk mengalami gangguan itu, tetapi ia tidak dapat memilihnya dan tanpa sadar mengalaminya. Mungkin saja dia merasa tidak nyaman dengan hal itu, orang lain pun demikian. Atau perilakunya sangat berbeda dengan individu pada umumnya pula, menyimpang dari aturan, menyimpang dari budaya sehingga dikatakan abnormal. Jika seseorang dihadapkan pada paraphilia, terdapat dua kemungkinan. Di satu sisi dia menjadi depresi  dengan peristiwa itu, tetapi dapat pula menjadi paraphilia. Contoh untuk yang mengalami depresi, cukup mencoba memikirkan reaksi seseorang yang dikatakan normal seperti apa. Saat dihadapkan pada situasi yang tidak dapat dikendalikan sama sekali, bahkan tidak dapat mengontrol diri sendiri, apa yang terjadi? Tentu kita merasa segala upaya itu sia-sia, tidak ada upaya yang berhasil (helpless), berikutnya kita mencari orang lain yang kita anggap mampu membantu kita keluar dari situasi itu (atribusi). Ternyata orang tersebut tidak merasa mampu membantu dan tidak membantu kita, akhirnya menjadi depresi karena situasi itu.

source: www.mp3opium.com
     Kesannya kita sendiri yang takut terhadap penderita paraphilia, padahal mereka juga takut kepada kita. Mereka merasa tidak mampu menjalin hubungan seperti orang-orang pada umumnya, sehingga mengalami paraphilia. Mungkin saja karena pernah mengalami kecenderungan genetik, trauma, lingkungan sosial yang membentuk pribadi seperti itu, dan masih banyak faktor lainnya. Atau adanya faktor belajar, misalnya pertama kali dihadapkan pada seorang sadism, seseorang masih merasa takut untuk disakiti. Lama-kelamaan merasakan kenikmatan pada saat disakiti, akhirnya terus berupaya mencari kenikmatan itu, sehingga menjadi masochism. Atau dapat pula mencontoh perlakuan penderita sadism untuk memperoleh kenikmatan yang sama dengan yang diperoleh seseorang yang dijadikan model pembelajarannya (penderita sadism). 

     Setiap penderita paraphilia tentu memiliki kisahnya sendiri yang mungkin berbeda dari satu individu dengan individu lainnya. Kisah itu bukan seperti yang diinginkannya meskipun pada akhirnya dia merasakan kenikmatan dari kondisi paraphilia. Kisah itu yang membawa kita untuk memahami apa yang dirasakannya dari masa lalu hingga masa kini ketika ingin membantunya berperilaku seperti individu pada umumnya. Menjadi parafilia memang memberikan kenikmatan baginya, tetapi sebenarnya itu bukan pilihannya menjadi seperti itu. Di kelas psikologi abnormal dan psikopatologi pernah dipaparkan sebuah kasus paraphilia. Ada pula penderita yang mengatakan kepada dirinya sendiri, "Kok teman-teman bisa terangsang kalau liat cewek atau hubungan seksual, kok aku nggak ya? Malah aku terangsang kalau liat jari-jari kaki cewek padahal temen-temen nggak.... Ada apa sama aku ya? Kayaknya ada masalah, tapi apa?" Di sana dia mulai mengalami adanya tekanan dari lingkungan yang bukan paraphilia, dia mulai menyadari dirinya berbeda dan merasa tidak nyaman dengan hal itu. Akibat terus terlarut dalam masalahnya, prestasi di sekolah pun menurun dan mulai membuat orangtuanya khawatir. Akhirnya setelah dianalisis, terdapat sebuah masalah di masa lalu ketika ia melihat kesenangan yang dirasakan ibunya saat tidak sengaja mengintip hubungan seksual ibunya dengan seseorang, yang pertama dilihatnya adalah jari kaki ibunya. Akhirnya terbentuk pembelajaran jari kaki-kesenangan. Akhirnya dia menjadi fetishism dengan fetish berupa jari kaki. Nah, melalui contoh ini kita melihat bahwa itu adalah faktor yang tidak dapat disadari, siapa yang menyangka bahwa peristiwa itu dapat mengarah pada sebuah gangguan psikologis? Yang terpenting bukan kita takut atau tidak dengan seorang paraphilia, tetapi bagaimana kita melihat di balik paraphilia untuk memahami kisah di baliknya. Dengan memahami kisah itu, kita akan dapat memahami seseorang dengan lebih baik.

referensi:
Kring, A. M., Johnson, S. L., & Neale, J. M. (2010). Abnormal psychology (11th ed.). New Jersey, NJ:  John Wiley & Sons.

Sabtu, 04 Mei 2013

Ekspresikan Dirimu

Ekspresi perasaan tidak hanya dapat dilakukan melalui kegiatan bernuansa seni, tetapi juga dapat dilakukan dengan ekspresi seksual. Seperti seni, ekspresi seksual pun beragam bentuknya, yang dapat dilakukan secara individual misalnya fantasi seksual (sexual fantasy) dan masturbasi.. Bagaimana dengan konteks orientasi seksual? Individu dengan orientasi seksual manapun tetap dapat melakukan ketiganya. Hanya saja bentuk ekspresinya yang berbeda. Misalkan seseorang yang heteroseksual membayangkan lawan jenisnya (fantasi seksual), tetapi homoseksual membayangkan sesama jenis, biseksual membayangkan keduanya.

     Fantasi seksual merupakan yang paling umum di antara ketiganya. Seakan-akan kita berimajinasi sesuatu yang bernuansa seksual, itulah fantasi seksual. Fantasi seksual pada pria lebih mengarah pada bagian tubuh, aktivitas seksual, variasi pasangan, dan tidak terlalu romantis. Sedangkan perempuan cenderung lebih romantis daripada pria dan lebih emosional. Seperti apakah fantasi seksual pada wanita? Bayangkan Anda sedang membaca sebuah novel. Anda mampu membayangkan adegan-adegan dari cerita percintaan di dalamnya. Pada setiap adegan, Anda dapat "merasakan" seperti apa rasanya menjadi tokoh yang diceritakan, seakan-akan mengalami apa yang dirasakannya pula. Fantasi seksual dapat meningkatkan gairah seksual, membantu mencapai orgasme, membantu dalam masturbasi, mengeksplor aktivitas yang dianggap "tabuh." Jika seandainya apa yang terjadi di dalam fantasi itu menjadi kenyataan pada situasi yang tidak tepat, tentu akan bertentangan dengan budaya maupun dengan agama. Misalnya membayangkan memiliki hubungan seksual dengan seseorang yang belum menjadi istri, dianggap menyimpang dari budaya masyarakat (dianggap tabuh). Fantasi seseorang bersifat subyektif, sehingga masyarakat juga tidak dapat mengatakan bahwa itu penyimpangan budaya, karena setiap orang dapat berimajinasi demikian.

     Fantasi seksual masih dapat dianggap lazim, tetapi berbeda halnya dengan masturbasi. Pada abad 19 dan 20 di Amerika dan Eropa, masturbasi tidak dianggap baik bagi seseorang. Masturbasi dianggap  dapat menyebabkan hal buruk, misalnya membuat seseorang menjadi "steril (tidak dapat menghasilkan keturunan)." Inilah yang melatarbelakangi orangtua pada zaman itu untuk mengusahakan agar anaknya tidak melakukan masturbasi sama sekali. Bahkan ada penyedia jasa untuk mencegah masturbasi itu sendiri. Untunglah, pada jaman sekarang hal-hal seperti ini sudah mulai ditinggalkan. Masturbasi malah dianggap dapat menyehatkan secara seksual. Selama masturbasi merupakan perangsangan yang dilakukan dengan sengaja pada genital pada tubuh sendiri untuk memperoleh kepuasan seksual, baik dilakukan secara alami maupun dengan bantuan alat. Secara alami, seseorang dapat menyentuh genitalnya sendiri. Dengan bantuan alat, misalnya dengan vibrator atau dildo, namun tujuannya tetap memperoleh kepuasan seksual. Manfaat melakukan masturbasi, misalnya seseorang dapat mengurangi ketegangan, sebagai sarana fantasi seksual, dan sebagai sarana untuk mengenali diri secara seksual. Mengenali diri secara seksual berarti seakan-akan mencari bagian ternyaman saat diberikan sentuhan pada tubuh. Dengan mengenali titik kenyamanan tersebut, akan mempermudah mencapai orgasme ketika berhubungan seksual nantinya.

     Baik fantasi seksual maupun masturbasi, keduanya dapat dilakukan sendiri (secara individual). Tujuannya adalah memperoleh kepuasan seksual, yang merupakan kebutuhan seksual. Konteks "seksual" tidak hanya sebatas hubungan seksual, aktivitas seksual lainnya seperti fantasi seksual dan masturbasi dapat pula menjadi sarana untuk itu. Bahkan keduanya akan sangat membantu mencapai kepuasan seksual ketika berhubungan seksual. Harus diingat, apabila belum menikah, tentu dilarang untuk melakukan hubungan seksual (pada budaya-budaya tertentu), tetapi fantasi seksual dan masturbasi mungkin masih diperbolehkan meskipun tidak ada aturan tertulis. Dengan demikian, kebutuhan seksual seseorang akan tetap terpenuhi tanpa harus berhubungan seksual dan melanggar aturan-aturan dalam budaya. Ekspresi umumnya identik dengan perasaan, misalnya mencurahkan perasaan senang dalam sebuah lagu, mengekspresikan rasa sedih dengan musik, dan lain-lain. Bagaimana dengan ekspresi seksual itu sendiri? Ekspresi yang dilakukan dengan fantasi seksual dan masturbasi merefleksikan siapa diri kita dalam konteks seksual. Kalau berbicara mengenai suatu hal, setiap orang mempunyai karakter tersendiri berbeda dari yang lain. Misalnya fantasi seksual yang kita miliki itu dapat merangsang kita setiap kali membayangkannya, tetapi tidak dapat merangsang apabila dibayangkan ornag lain. Menyentuh genital dengan cara X belum tentu dapat merangsang seseorang meskipun berhasil pada orang lain. Keduanya sama-sama subyektif, namun keduanya merupakan ekspresi siapa diri kita.