Jumat, 31 Mei 2013

Kunci Menuju Masa Lalu

     Hari Senin yang lalu seorang teman menyalahkan saya atas sesuatu yang tidak saya ketahui informasinya dengan langsung berbicara dengan intonasi tinggi alias membentak. Bahkan dia seakan-akan tidak mau melihat pekerjaan saya dan meminta saya untuk langsung menyatukannya ke dalam makalah. Saya merasa pekerjaan saya tidak dihargai. Padahal seharusnya jika tugas itu tidak saya prioritaskan, saya sudah dapat menyelesaikan tugas lain yang memiliki tenggak waktu di minggu ini. Apa artinya pengorbanan saya di malam sebelumnya, berusaha mencari buku-buku pengganti dan mengetik semuanya hingga selesai, hasilnya tidak dihargai. Entah mengapa, rasa amarah bergejolak begitu kuatnya, sehingga saya tidak dapat menahan emosi lagi dan terdiam selama di ruang diskusi. Ketika dia memberikan kue kepada saya, saya pun tidak mau menerimanya karena saya ingin menghindar darinya sementara waktu. Di satu sisi saya ingin pertemanan kami yang sudah lebih dari tiga tahun itu tetap berlangsung, tetapi di lain sisi saya membenci apa yang dilakukannya kepada saya. Saat itu yang saya inginkan adalah dia mengintrospeksi dirinya dan membuat perkiraan apa yang membuat saya marah besar kepadanya. Terserah itu tepat atau tidak, jika seseorang berani melakukannya, saya yakin itu ada keinginan untuk berubah. Saya pun melakukan introspeksi diri, saya tidak mengerti mengapa orang lain tidak marah jika disalahkan tetapi saya sangat marah jika dibentak sekaligus disalahkan. Hanya itu saja yang saya pikirkan dalam dua hari.

sumber: www.birthpangs.org

     Terdapat dua kemungkinan yang membuat saya menjadi oversensitif seperti itu setelah mengintrospeksi diri, salah satunya yaitu trauma. Keduanya sangat berkaitan dengan salah-menyalahkan, akibatnya fatal. Sekitar sepuluh hari saya harus bertahan dalam kondisi depresi. Saya merasa kepercayaan saya dikhianati, ditusuk dari belakang, diperlakukan seperti bukan manusia yang memiliki perasaan. Bahkan saat itu apa yang dialami oleh saya tidak diperhatikan, justru nama institusi yang dipentingkan. Apakah saya ini tidak berharga dan institusi jauh lebih berharga sehingga masalah itu dibebankan kepada saya yang tidak tahu apa-apa? Merasa bahwa diri sendiri tidak berharga itu bukan sesuatu yang dapat dielakkan. Air mata pun terus mengalir bersamaan dengan hati yang tersayat-sayat. Tahun demi tahun berlalu, saya merasa sudah bisa menerima bahwa saya mengalami itu. Ternyata trauma itu masih terus mencabik-cabik diri ini tanpa disadari. Setiap disalahkan, saya bereaksi dengan cara yang sama. Langsung marah besar, lalu terdiam beberapa hari, dan menarik diri dari lingkungan sosial. Itu pula yang melatarbelakangi mengapa kata "saya memaafkan Anda" itu benar-benar sulit terucap apabila seseorang menyalahkan saya dengan membentak.

     Apa yang saya alami selalu merusak hubungan keluarga dan pertemanan yang sudah terjalin. Saya terluka, orang lain pun terluka, sebenarnya saya ingin sekali lepas dari semua itu. Saya tidak tahu caranya, jika masalahnya serumit ini. Bersyukur sekali hari ini ada acara membedah buku yang berkaitan dengan trauma. Belajar dari narasumber yang pernah mengalami trauma itulah yang menjadi alasan saya ikut acara ini. Saya ingin sembuh, hanya itu motivasi yang tertanam di benak ini. Di dalam acara ini dibahas mengenai masa lalu traumatis narasumber, disertai bagaimana Beliau bangkit dari pengalaman traumatisnya. Selama acara, tiga orang pakar membahas buku ini dari perspektifnya masing-masing. Setiap saya mendengarkan pembahasan itu, terbayang trauma yang pernah saya alami di benak saya. Akhirnya saya melihat bahwa trauma yang dialami narasumber itu jauh lebih menyakitkan dari yang saya alami. "Payah, cuman karna trauma segitu aja lu uda nge-drop, gimana kalo lu jadi dia yang traumanya lebih parah lagi?" itu yang saya ucapkan pada diri saya sendiri.

sumber: littlechandlerfamily.blogspot.com
     Kendalanya adalah penerimaan diri. Jika membaca di buku, tahap penerimaan diri adalah ba, bla, bla... Mudah sekali! Coba lakukan! Habislah sudah.. "Sesuatu yang dipelajari di buku terkadang sulit untuk dipraktikkan seperti yang saya alami sekarang. Setiap tahap dimana kita berada, kita masih mungkin mundur ke tahap sebelumnya dalam tahap penerimaan diri, adanya konflik merupakan hal yang wajar dalam diri seseorang ketika menghadapi masalah." Dari luar terkesan menerima diri, tetapi apakah "hati kecilmu" sudah menerima dirimu sendiri? Penerimaan diri terkadang terlihat semu, tetapi jika hati kecil sudah berkata "saya menerima diri," tentu itu asli. Setiap manusia itu unik, memiliki cara tersendiri dalam menyelesaikan masalah. Itulah yang saya tangkap dari proses belajar di acara ini. Selain itu, yang terpenting adalah berani membuka kenangan trauma dan menyadari adanya "protective factor," yang merupakan apa hal positif yang kita miliki itulah yang akan menjadi  dukungan bagi kita. Misalnya, "saya punya teman-teman yang mengasihi saya," "saya pasti bisa menyelesaikan masalahnya," dan lain-lain. Itulah kunci yang saya dapatkan untuk kembali membuka masa lalu yang kelam dan kembali menghayatinya dengan perspektif berbeda untuk menerima diri sendiri. Pilihan ada di tangan saya, saya yang harus menentukan untuk menggunakannya atau tidak. Jika saya menggunakannya, ada kemungkinan saya dapat menyembuhkan diri sendiri dan melepaskan diri dari trauma. Apabila saya mengubur kunci itu di dalam tanah, saya membiarkan trauma menghantui saya dan memangsa saya perlahan-lahan.

     Sepanjang perjalanan saya terus berpikir, apakah saya mampu menggunakan kunci itu atau tidak. Selama ini saya menjauh dari teman-teman karena saya tidak memiliki keberanian berada di tengah-tengah mereka. Jika saya ada bersama mereka, saya tidak ingin mereka merasakan perasaan saya yang sakit ini. Namun, pada kenyataannya jika bersama mereka, saya akan semakin sakit, mereka ikut sakit, itu yang tidak saya inginkan. Sepanjang jalan, saya terus bertarung dengan diri saya sendiri, untuk menggunakan "kunci menuju masa lalu" atau tidak. Murung itu sudah pasti, setiap teman bercanda, saya pun tidak tahu dia berkata apa, hanya tersenyum tanpa tertawa. Mungkin saya berpikir bahwa saya haru menjalani ini semua seorang diri. Ketika teman saya mengajak belajar bersama di hari Selasa minggu depan dan mengatakan "gue ajak dia gapapa kan?" "Dia" yang dimaksudkan itu adalah orang yang telah membuat saya marah besar. Saya semakin murung, di dalam hati saya bertanya, "Tuhan, sebelumnya Engkau mempertemukan aku dengan teman dari dia, sekarang Engkau akan mempertemukan aku dengannya. Apakah semua ini rencana-Mu? Apakah ini pertanda aku harus mulai membuka pengalaman traumatis itu dan mulai menerima diri sendiri serta memaafkan dia?" Akhirnya saya bertekad untuk menyelesaikan tanggung jawab yang tertinggal sebelum memaafkan dan meminta maaf juga. Tujuannya agar di antara kami ada rekonsiliasi, supaya dapat menutup masa lalu dengan lebih baik dan membuka lembaran berikutnya di hari yang baru. 

     Ternyata selama ini saya memiliki keluarga dan teman-teman, serta rekan-rekan lainnya, meskipun terkadang mereka terkesan apatis, mereka keras, saya percaya mereka ingin saya menjadi lebih baik. Mereka begitu dekat, tetapi saya belum menyadarinya selama ini. Mereka yang akan menuntun saya ke masa depan yang lebih baik. Mereka selalu mengatakan "lu mau cerita? kalo ga mau gapapa juga sih, gue ga maksa." Langkah awal adalah berani menceritakan pengalaman trauma itu sendiri. Selanjutnya saya harus memulai dengan menyadari protective factor, serta menjadikannya kekuatan untuk bangkit dan melepaskan diri. Kesannya mudah, tetapi sulit, karena seringkali faktor ini terlupakan. Siapapun termasuk saya cenderung memikirkan sesuatu dari sisi buruknya saja dan melupakan sisi positifnya. Padahal itu kuncinya. Ketika selesai menutup buku masa lalu, saya percaya segalanya akan menjadi lebih baik. Sesuatu yang menyenangkan baru akan didapatkan ketika saya bersedia untuk mengorbankan sesuatu untuk mendapatkannya. Saya hanya mampu melakukan yang terbaik, terserah akan menjadi hasil yang seperti apa. Seperti apapun hasilnya tidak akan meninggalkan penyesalan jika mau bekerja keras dengan maksimal.

And when your hope crashes down. Shattering to the groundYou, you feel alone. When you don't know which way to go. And there's no signs leading you home. You're not alone.


~Demi Lovato- Gift of a Friend~ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar