Minggu, 11 Agustus 2013

Rentangkan Sayapmu

Bagi beberapa orang, risiko adalah hal yang patut dihindari dan dicegah. Namun, terkadang kita perlu mengambil risiko untuk mencapai sebuah tujuan. Misalnya mengambil keputusan untuk menjalani kuliah. Tujuannya adalah menempuh pendidikan yang diperlukan dalam sebuah profesi. Risikonya tentu biaya, waktu, tenaga, dan lain-lain. Kesiapan seseorang menghadapi risiko pun berbeda, mulai dari persepsinya terhadap risiko itu sendiri, kepercayaan dirinya, dan sebagainya.

     UN adalah mahasiswa yang kurang percaya diri, memandang dirinya secara negatif, dan merasa tidak kompeten cenderung menghindari risiko. Upaya yang dilakukannya dapat berupa membuat perencanaan secara detil, termasuk dengan pertimbangan risiko terkecil. Teman-temannya memandang dia sebagai orang yang lemah, tidak bisa apa-apa, dan pengecut. Itu baru tampilan luarnya, bagaimana jika teman-temannya mengetahui apa yang terjadi pada UN di masa kecilnya? Dulunya UN selalu menerima kritikan, dimarahi, dikatakan bodoh saat mendapat nilai jelek. Setiap kali dia mencoba untuk meningkatkan nilainya, selalu perlakuan-perlakuan itu yang didapat meskipun ada sedikit peningkatan. UN merasa dirinya tidak mampu dalam hal tersebut. Setiap UN ingin mencoba sesuatu yang baru, ia takut dengan kegagalan. Belum mencoba, dia sudah berpikir bagaimana jika misalnya gagal. Dia pun tidak siap dengan komentar-komentar lingkungan sosialnya. 

   Munculnya perilaku menghindar dari risiko juga dapat ditinjau dari masa lalu seseorang. Pengalaman masa lalu terus muncul dalam diri UN sekalipun ia tidak menyadarinya. Seakan-akan sesuatu telah mengarahkan perilaku UN untuk menghindari risiko. Memang sulit bagi UN untuk menentang dorongan tersebut, terutama menghadapi kenyataan pahit seperti sebelumnya, yaitu kegagalannya sendiri (failure). Berbagai seminar mengenai motivasi telah diikutinya, termasuk pula membaca buku-buku tentang motivasi. Tidak ada satu pun di antara itu semua yang berhasil menggerakkan hati UN untuk melawan dorongan menghindari risiko. Jika terus dibiarkan, UN akan tetap memandang dirinya secara negatif seperti apa yang dialaminya dan akan sulit untuk mengembangkan diri.

     Di satu sisi UN memiliki keinginan untuk lepas dari belenggu itu dan bebas menjelajahi dunianya. Akan tetapi UN tetap menghadapi hambatan yang sama setiap kali mencoba, sehingga konflik selalu timbul dalam diri UN. UN memiliki seorang teman yang sangat berbeda dari dirinya, DZ. DZ seringkali bertindak dengan perencanaan yang minim dan kerap menghadapi risiko dari keputusannya. DZ memang mengeluh setiap menghadapi risiko, tetapi tetap berupaya mengatasi risiko itu untuk mencapai tujuannya. Berkali-kali terjerumus ke dalam risiko, DZ tetap saja seperti itu. UN pun melihat ke dalam dirinya, merasakan ada yang salah mengenai dirinya. Saat itulah UN baru menyadari ia selalu menghindari risiko. Sebenarnya risiko tidak akan menjadi masalah selama itu dapat diatasi.

Sumber: suksesitubebas.com
     UN memikirkan sebuah analogi seandainya dia adalah seekor burung yang ingin belajar terbang. Sarang burung berada di tempat yang tinggi. Bagaimana jika seandainya dia langsung terjun dari sarangnya tetapi tidak berhasil terbang? Keajaiban apabila dia masih selamat, kurang beruntung apabila jatuh dan tidak dapat bertahan hidup. Pada kenyataannya, hampir semua burung berhasil terbang, berarti kecenderungan gagal lebih sedikit asumsi UN. UN mengandaikan usaha yang dia kerahkan untuk melepaskan belenggu kehidupannya adalah "merentangkan sayap" untuk bisa terbang (mencapai tujuan). Dengan lebih banyak berpikir mengenai tujuan apa yang ingin dicapai akan mampu memberikan dorongan yang lebih kuat untuk mencapainya. Risiko yang tadinya merintangi jalan kesuksesan, kini menjadi sebuah batu kerikil di jalan itu.

Kamis, 01 Agustus 2013

Something About Teamwork

Kerja kelompok tidak hanya sekadar membagi tugas, melaksanakannya, dan menggabungkannya. Itulah hal yang dipelajari oleh teman kita yang bernama AL. AL pernah mendapat tugas presentasi kelompok saat SMA, tetapi dia tidak merasakan adanya kesan positif dari apa yang dikerjakannya dalam kelompok ini. Ia mulai memandang dirinya tidak mampu melakukan apapun dalam hal presentasi. Hal itu menjadi berbeda ketika ia menjalani kuliah. AL merasakan suasana yang berbeda dalam kelompoknya, bahkan ia mulai memandang dirinya secara positif dalam kelompok tersebut. Apa yang terjadi pada AL? Apa faktor dalam kelompok yang mampu mengubah pandangan terhadap dirinya sendiri?

     Momen-momen presentasi selalu menjadi momen menyebalkan bagi AL selama SMA. Kelompok AL memiliki perlakuan yang "berbeda" terhadap anggotanya. Ketika mendapat tugas, hanya satu orang yang diberikan tugas untuk mengerjakan file presentasi. Apa yang dilakukan oleh teman-teman lainnya? Hanya menunggu sampai file itu selesai dan mempresentasikan bahan yang tidak mereka kerjakan. Apabila ada sesuatu yang kurang memuaskan bagi mereka, tanpa segan mereka berkomentar pada AL. "Uda pada ga kerja, yang ada komen melulu.... (pikir AL)" Harinya presentasi, AL tidak mampu menjelaskan materi yang dibuatnya, tetapi teman-temannya cukup membaca satu kali dan mereka sudah bisa menjelaskan. Guru hanya berkomentar, "Slide itu bukannya dibaca, tapi dijelaskan..." AL yang masih SMA dan tidak pernah diajarkan bagaimana menjelaskan materi presentasi hanya dapat melanjutkan apa yang dapat dilakukannya dengan mengesampingkan pendapat tersebut.

     Sejak saat itu, AL tidak pernah suka dengan kerja kelompok. AL merasa heran, teman-teman lainnya begitu antusias terhadap kerja kelompok. "Apa sih yang menyenangkan dalam kerja kelompok? Ujung-ujungnya juga disuru kerja kayak waktu itu terus dikomenin ga enak juga..." Tanpa sengaja AL telah mengaitkan fenomena kerja kelompok dengan sesuatu yang tidak menyenangkan karena hanya hasil yang dilihat. Selain itu, ia juga merasa dirinya tidak dapat melakukan apapun sejak komentar-komentar itu diberikan padanya. Hal tersebut tertanam dalam pikirannya. Saat itu, ia memandang guru dan teman-temannya hanya melihat sesuatu berdasarkan hasilnya, bukan prosesnya. AL mempertanyakan, "Gimana sih caranya presentasi yang dibilang bagus? Mereka cuman bisa komentar, tapi kok mereka dibilang bagus, bikin materi aja nggak. Menjelaskan... Membaca slide... Menjelaskan seperti apa yang dia maksud?" Semakin ia bertanya, justru ia semakin tegang saat kerja kelompok dan presentasi. Apakah bagus tidaknya kinerja selalu ditentukan dari hasilnya saja?

      Hasil kerja hampir selalu menjadi patokan utama dalam sebuah kelompok. Sebenarnya apa yang membuat hasil kerja begitu penting? Bukankah prosesnya yang lebih penting? Proses yang lebih diutamakan tentu proses yang dapat membuahkan hasil yang diharapkan atau hasil yang melebihi ekspektasi. Seringkali proses yang memberikan kegagalan itu terlupakan. Jangan keliru dulu, dari kegagalan itulah keberhasilan berasal. Kelihatannya memang selalu hasil yang disorot, tetapi pertanyaan "bagaimana bisa gagal?" selalu muncul dari seseorang yang mengalami kegagalan. Seperti halnya AL, ia terus bertanya apa yang membuatnya tidak berhasil dalam presentasi kelompok. Ia baru menemukan jawabannya ketika kuliah. Setiap ia mengalami kegagalan ia mencoba mendiskusikan kegagalan itu dengan teman-temannya sampai menemukan jawabannya. Di satu sisi ia memang belum menemukan apa yang disukainya dalam kerja kelompok, tetapi ia hanya berusaha mejawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pikirannya.

     Tugas presentasi kelompok muncul kembali dalam hari-hari AL, lagi-lagi ia mendapatkan tugas yang sama. Ia hanya berguman dalam kelompoknya dengan ekspresi tidak suka dengan pekerjaannya. Tiba-tiba, seorang teman langsung membagi materi dan menunjuk salah seorang koordinator yang akan menyatukan materi-materi itu. AL terkejut, dalam sekejap ia merasakan suasana berbeda dalam kelompoknya yang sekarang dibandingkan kelompok SMA. Selama bekerja pun, ia sering diberikan pertanyaan terkait materi oleh teman-temannya. AL yang tadinya merasa tidak percaya diri dengan kemampuannya mulai memperoleh kepercayaan dirinya kembali. Awalnya ia berusaha menghindar dari pertanyaan itu, tetapi tidak hanya teman ini saja yang bertanya, tetapi semuanya. Mau tidak mau, ia harus berusaha menjawabnya terlepas jawaban itu memuaskan atau tidak.

     Suasana berbeda itu kembali dirasakannya ketika pekerjaannya selesai. Ia tidak hanya menerima komentar negatif, tetapi ia juga memperoleh masukan bagaimana memperbaiki kesalahannya, baik dalam hal pembuatan makalahnya atau pada saat presentasi. AL merasa senang dengan hal tersebut. Dari pribadi yang tidak suka dikritik seperti sebelumnya, menjadi lebih tangguh ketika menghadapi kritikan. Berkat kelompok ini, AL pun menjadi lebih tajam dalam mengoreksi performanya sendiri dalam kelompok. Kompetensi itu perlahan-lahan semakin tampak oleh teman-temannya. Akhirnya hampir selalu AL diminta menjadi koordinator makalah presentasi dan dimintai pendapat mengenai presentasi seorang teman.

     AL melihat bahwa pekerjaan itu tidak seharusnya ditanggung secara individual. Ada kalanya pekerjaan itu didistribusikan dalam kelompok menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Tugas yang besar membuat seseorang merasa itu sangatlah berat dan melebihi kemampuan, sehingga menimbulkan stres yang lebih besar. Akan menjadi berbeda jika pekerjaan itu dipecah menjadi unit-unit yang lebih kecil yang akan ditanggung bersama. Setiap anggota kelompok akan merasa memiliki tanggung jawab atas materinya dan merasa berkontribusi pada kelompoknya. Di dalam kelompok yang terpenting bukanlah lagi siapa yang lebih mampu, siapakah yang tidak mampu. Hal yang menentukan bagaimana kelompok itu dapat produktif adalah kerja sama antar anggota tim itu sendiri (teamwork). Apabila masing-masing anggota hanya bertindak individual, tujuan kelompok tidak akan tercapai. Setiap anggota mengerjakan pekerjaan masing-masing dan memiliki tujuan yang sama dalam kelompok, maka performa kelompok itu akan menjadi lebih baik lagi.