Kamis, 29 November 2012

Going Home

     Tadi itu hujan turun tiba-tiba tanpa ada yang menyangka. Hujan deras itu tidak masalah, yang masalah itu timing-nya. Seringkali belum sampai di rumah tiba-tiba hujan di jalan, coba saja hujan bisa diajak kompromi.... Saat berjalan di jembatan, seorang anak berusaha membuka payungnya karena tiba-tiba mulai gerimis disertai angin kencang. Ada seorang ibu-ibu berseru, "anginnya kekencengan, jangan pake payung, ga bisa!" Anak itu berpikir, "iya Bu, saya tau, ga ada salahnya kok mencoba..." Ketika payung dibuka, astaga! payungnya langsung terbalik seperti kuali bentuknya. Karena panik, anak itu menutup payungnya. Sayangnya ada kawat payung yang terlihat rusak dan tidak bisa terlipat ke dalam. Dia pun menambah kecepatan berjalannya sampai turun dari jembatan ke jalan raya supaya dapat tiba di rumah sebelum hujan deras. 
     Tiba-tiba hujan semakin tidak bersahabat, angin semakin kencang pula. Anak ini pun mengeluarkan dan mengenakan topinya sambil menyeberangi jalan raya. Sesampainya ia di tengah jalan, motor yang seharusnya berhenti ketika ada yang menyeberang justru tetap melaju meski anak ini ada di depannya. Anak ini pun berteriak pada pengendara itu, "WOI!" Pengendara motor itu diam dan melirik ke arahnya karena terkejut sementara dia hanya berjalan seolah tidak terjadi apa-apa. Sebenarnya dia tidak mau berteriak, tetapi sudah berulang kali para pengendara motor tidak berhenti untuk memberikan kesempatan menyeberang bagi para pejalan kaki. Hal itu memang membuatnya kesal saat ingin cepat sampai di rumah, sehingga dia berteriak. Ia hanya berkata dalam hati, "makanya kalau lampu merah tuh stop dulu biar pada bisa nyebrang, mank enak dijeritin depan umum?"
    Anak ini kembali melanjutkan perjalanan pulang. Ia langsung lari karena hujannya bertambah deras lagi. Ternyata angin terlalu kencang, sehingga topinya terbang lepas dari kepalanya. Dia pun kembali mengambilnya sementara ada empat orang pejalan kaki di sebelahnya yang tersenyum kecil melihatnya. Dia malu, sehingga tidak lagi melihat para pejalan kaki itu dan kembali berlari sambil memegang topinya. Lima menit kemudian, anak ini sudah berada di jalan rumahnya. Dia mencoa kembali membuka payungnya, ternyata kawat yang kelihatan rusak itu masih dapat berfungsi. Dia pun percaya diri dapat berjalan ke rumah dengan santai karena dapat menggunakan payung selagi hujan. Angin tiba-tiba kembali menerpa payung itu sampai membuat payung ini terbalik lagi. Seorang ibu-ibu di jalan itu tertawa dan berkata, "yaahh... kebalik...." Si Anak hanya melihat ibu-ibu itu dan kembali berjalan sampai ke rumahnya sementara ibu ini masih tertawa. Si anak hanya berpikir, "mimpi apa gue semalem, kenapa kayaknya gue lagi apes ya... setidaknya ni hari blajar biar laen kali ga nekad."

Minggu, 18 November 2012

"Ujan" yang Paling Ditakuti

Belajar juga dapat menyebabkan stres,
sayangnya hal ini sering terabaikan.
   "Ujan" apa yang paling ditakuti para siswa-siswi di sekolah dan para mahasiswa???? Ujian jawabannya, cukup hilangkan huruf "i" jadilah "ujan"... Seperti apapun upaya yang dilakukan, tidak akan pernah berhasil melepaskan diri dari "ujan" yang satu ini, selalu ada bersama kita dalam suka maupun duka. Uniknya setiap ada ujian saat sedang menempuh pendidikan formal, hampir selalu ada ujian lain. Misalnya kita sakit, putus asa, masalah hubungan dengan keluarga, dan lain-lain. Seakan-akan kita menghadapi dua ujian sekaligus dalam waktu bersamaan. Ingin memandangnya seperti apa, itu terserah pada kita.
   Apabila kita merasa kita tidak mampu menghadapi situasi ini, dilihat "ancaman". Sebaliknya, apabila kita merasa mampu menghadapinya, kita cenderung melihatnya sebagai "tantangan". Apa bedanya? "Ancaman" yang dimaksudkan adalah ancaman seolah-olah "berakhirlah sudah perjalanan ini". Kita merasa tidak ada lagi yang dapat dilakukan dan pasrah saja. Jika kita memandangnya sebagai "tantangan", tentu kita lebih semangat untuk mencari solusinya. Ketika kita merasa sebuah situasi adalah ancaman bagi kita, kita cenderung mengalami yang namanya stres. Stres ini memiliki berbagai gejala. Dapat berupa gejala emosi, seperti cemas misalnya. Atau jika sudah parah, dapat berdampak pada fisik, contohnya merasa sakit perut setiap kali melihat buku pelajaran untuk ujian. Kalau orang-orang yang tidak mengerti stres itu seperti apa mungkin mengatakan, "ahhh, alasan! tiap kali belajar pasti bilangnya sakit perut. bialng aja pengen maen...."
    Stres itu sebenarnya tidak hanya respon secara psikologis, tetapi juga respon fisik. Ketika stres, detak jantung dapat berdetak lebih cepat, akibatnya sistem-sistem dalam tubuh juga terpengaruh. Kita pilih satu contoh, sistem limbik. Sistem ini berperan dalam emosi kita. Jika stres memengaruhi sistem ini, cara kita bereaksi terhadap situasi pun akan berubah. Kita bisa menjadi pendiam, bisa menjadi pemarah, menjadi agresif, dan lain-lain. Sistem pencernaan juga terpengaruh. Produksi asam lambung pun meningkat jika kita stres, itulah sebabnya kita dapat merasa sakit perut ketika melihat buku pelajaran, bukan alasan untuk melarikan diri dari belajar bukan???
   Alangkah baiknya jika kita mampu mendeteksi gejala-gejala ini selama kita sedang mempersiapkan diri untuk ujian. Sebenarnya terdapat dua opsi secara umum untuk solusinya, ingin mengatasi masalahnya langsung atau mengatur emosi terlebih dahulu? Keduanya sama-sama bagus dan memiliki pengaruh positif tersendiri. Ketika keduanya digabung, hasilnya tentu lebih memuaskan. Misalnya, pertama-tama kita mencoba membuat suasana hati kita senang dengan meninggalkan buku dan melakukan hobi. Saat kita merasa sudah cukup puas melakukan hobi, baru coba menangani masalahnya (belajar untuk ujian). Hasilnya, saat kita belajar kita merasa senang dan materi-materi yang dipelajari pun terasa lebih mudah.

Rabu, 07 November 2012

Sakitnya Disalahkan

    Rasanya benar-benar menyakitkan kalau sering disalahkan atas apa yang tidak kita lakukan, seperti yang dialami oleh Z. Z dan ayahnya seringkali bergantian memakai komputer. Z sama sekali tidak mengerti bagaimana cara log-off, memasang password pada sistem, mengunci komputer atau yang semacamnya. Ketika ia membuka komputer dan bermain di komputer, ayahnya datang dan mengatakan dengan nada keras, "lu konci ya komputernya? ampe gue ga bisa maen!" Z sama sekali tidak mengerti apa yang diucapkan dan hanya membalas "tidak". Ayahnya sama sekali tidak percaya padanya dan membentak, "Bohong! ga mungkin lu ga ngerti! .... (sambil melontarkan kata-kata kasar)".  Ini bukan pertama kalinya Z disalahkan atas sesuatu yang tidak dilakukannya, ini sudah ke sekian kalinya. Tentu Z merasa sakit dilontarkan kata-kata kasar oleh ayahnya sendiri. Z yang tidak tahan lagi hanya membalas dengan ketus, "Siapa yang konci coba, ngerti aja ngga. kalau nuduh tuh pake bukti, ga ada bukti maen salahin orang. dikira ga sakit apa? semua disalahin juga sakit, emangnya papa ga sakit apa kalau disalahin? emangnya Z ga punya prasaan kayak papa?" Mulai saat ini keduanya membisu hingga keesokan harinya.
     Z yang masih sakit hati atas perlakuan ayahnya mencoba berbagi dengan ibu dan teman-temannya. Ibu dan teman-temannya pun terkejut bahwa Z benar-benar marah sampai melontarkan kata-kata yang ketus. Z yang merasa tidak dihargai oleh ayahnya merasa bingung apa yang harus diperbuat lagi. Dia merasa dirinya tidak salah setelah berpikir kembali. Dia cenderung menjadi pemarah jika berhadapan dengan seseorang yang menyalahkannya dengan cara yang tidak baik seperti langsung membentak tanpa mengklarifikasi terlebih dahulu. Sayangnya, ayah Z tidak benar-benar mengetahui karakter Z seperti ini karena dia sering disalahkan oleh ayahnya. Di satu sisi Z ingin berusaha untuk menerima ayahnya apa adanya, di lain sisi dia sangat membenci kecenderungan ayahnya yang suka menyalahkan orang lain, tidak hanya Z tetapi ibunya dan orang-orang lain juga disalahkan. Akhirnya Z memutuskan untuk tidak memakai komputer di saat ada ayahnya supaya dia tidak disalahkan mengunci komputer, karena hanya dia yang memakainya selain sang ayah. Tentu hal ini akan mengurangi produktivitasnya saat dia kuliah, karena sebagian besar tugas kuliah dikerjakan dengan komputer. Salah satu sumber hiburan Z juga komputer itu. Z sebenarnya ingin sekali menjadi pribadi yang tidak oversensitive jika disalahkan, tetapi dia sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukannya jika lingkungan sosialnya selalu membuatnya seperti itu. Sepanjang hari dia hanya berusaha tetap tersenyum di hadapan siapapun untuk menyembunyikan kemarahannya.

Keluarga juga dapat menentukan bagaimana kepribadian
seorang anak berkembang ketika dia dewasa kelak.
baik melalui nila-nilai dan norma, maupun perilaku masing-masing anggota keluarga.