Sabtu, 06 Juli 2013

Heal The Wounded Heart

Sama seperti luka secara fisik, ada luka kecil, ada pula luka yang besar. Mulai dari yang tidak disadari, sampai luka yang sangat parah. Kelihatannya luka ini tidak terlalu berarti, tetapi akan semakin parah semakin menyakitkan jika tidak ditangani. Dalam sebuah seminar dan bedah buku mengenai trauma, hal ini diangkat sebagai topik utama dengan pendekatan psikologi dan pendekatan keagamaan. Bagaimana seseorang mengalaminya dan bagaimana seseorang menghadapinya itulah yang dibahas.

     Luka batin erat kaitannya dengan trauma. Seseorang akan mengalami trauma ketika sebuah kejadian berada di luar kemampuannya dalam mengatasi masalah dan mengalami shock (terkejut). Setelah mengalaminya, tidak mengherankan itu sangat menyakitkan. Seseorang tidak hanya sekadar luka, tetapi produktivitasnya juga akan terganggu, mengisolasi diri, menyalahkan keadaan, dan belum dapat menerima dirinya sendiri. Setelah saya menyadari ternyata trauma itu berdampak sampai sekarang meskipun sudah bertahun-tahun lamanya. Tanpa sadar, perilaku menjadi sangat berbeda dari yang dulu, menjadi oversensitif, sehingga sering mengalami masalah dengan lingkungan sosial. Saya sengaja mengikuti seminar tersebut untuk menemukan bagaimana caranya melepaskan diri dari trauma. "Mengapa saya yang mengalaminya? Bukan orang lain? Dunia ini tidak adil." Terkadang pernyataan itu terucap secara sadar/tidak sadar dalam benak ini. Keinginan untuk melupakan kejadian traumatis memang selalu ada.

    Siapapun selalu mengatakan "Udah, jangan dipikirin lagi, lupain aja." Saya selalu mempertanyakan, "kalau Anda ada di posisi saya, apakah Anda mampu melupakannya dengan mudah?" Berkata memang mudah, tetapi sulit dilakukan. Semakin ingin melupakannya, kejadian itu selalu muncul di dalam pikiran. Berhari-hari seperti itu, sampai akhirnya selalu teringat kejadian traumatis. Ketika bertemu dengan kejadian yang serupa atau hampir serupa, rasa sakit  selalu muncul, rasa marah, rasa sedih, semuanya menjadi satu dan tidak terkendali.  Tanpa sengaja, kemarahan itu keluar dan menyerang seseorang yang dekat dengan kita. Kita pun merasa menyesal telah melakukannya, lalu kejadian itu terulang dan terulang meskipun itu bukan keinginan kita.

sumber: www.varbak.com
     Di acara bedah buku mengenai trauma, saya merasakan sebuah "getaran" yang belum pernah saya alami sebelumnya. Tia-tiba sebuah kalimat muncul dalam benak saya, "Trauma kamu belum separah itu. Dia bisa bangkit, mengapa kamu tidak? Apa kamu mau bangkit? Itu pilihan kamu." Setelah peristiwa itu saya hanya terdiam dan memikirkan kata-kata itu. Setiap mendengar atau membaca kata "trauma" rasa cemas dan rasa takut yang dialami di masa sebelumnya selalu muncul, semangat pun hilang secara berangsur-angsur. Namun, ketika kata-kata itu muncul, yang dapat dilakukan adalah menahan perasaan-perasaan itu sampai akhirnya memberanikan diri mengikuti seminar yang berkaitan dengan trauma.

     "Di balik kesulitan pasti ada hikmahnya," itulah yang dirasakan selama seminar. Setiap materi yang dipresentasikan pembicara, membuat kami merefleksikan diri sendiri, "apa yang sebenarnya terjadi pada kami?" Sebuah kejutan... Ternyata dalam sebuah sesi seminar, ada saat dimana kami diajarkan untuk bermeditasi dan melakukan visualisasi untuk menenangkan diri dan mengatasi trauma. Tanpa disangka, ketika diminta membayangkan kejadian traumatis secara kronologis, hati ini begitu sakit. Air mata juga tak tertahankan lagi, suara tangis terdengar di setiap sudut ruangan, suasana sedih menyelimuti ruangan ini. Dalam hati saya berkata, "Kenapa ini sakit? Apa benar selama ini trauma ini tetap menggerogoti saya? Sakittt....." Di satu sisi ingin sekali rasanya menghentikan meditasi karena merasa sakit secara batin, di sisi lain ingin terus melawan sampai menang dari trauma. 

     Presenter pun memberikan instruksi "Bayangkan alurnya dan bayangkan secara detail." Perlahan-lahan sambil mengatur napas dan menahan sakit, kami terus mencoba membayangkannya. Tidak ada manfaatnya menahan emosi yang keluar pada saat itu, yang perlu dilakukan adalah mengeluarkan seluruh emosi, luapkan semuanya. Selanjutnya, kami diminta membayangkan melakukan rekonsiliasi bersama seseorang yang menimbulkan trauma personal tersebut, lalu membuka mata perlahan-lahan. Air mata masih terus keluar, tetapi hanya ada satu yang ada di pikiran saya saat itu "Kalau mau mendapatkan sesuatu yang lebih baik, korbankanlah sesuatu. Korbankanlah rasa sakit itu, tukarlah dengan mental yang lebih sehat." Acara bedah buku dan seminar tersebut memberikan sebuah inspirasi baru. Apabila ingin mengatasi trauma, caranya bukan menghindar, tetapi maju dan melawan trauma. Pertahanan tidak selamanya strategi terbaik, terkadang "penyerangan adalah strategi terbaik." Itulah pandangan seorang teman yang juga menginspirasi bagi saya pribadi. 

     Peranan keluarga dan teman-teman juga sangat penting. Kecederungan saat mengalami trauma adalah mengisolasi diri, tetapi itu bukan cara yang baik. Adanya keluarga dan teman memberikan dukungan bagi kita untuk mengatasi trauma, mereka mungkin berkata "lupakan saja." Hal terpenting bukan kata-kata yang mereka ucapkan, tetapi hati mereka yang berbicara, niat tulus yang disampaikan pada kita. Trauma juga membuat seseorang teringat dengan kepercayaannya, mulai berdialog dengan Sang Pencipta. Sang Pencipta menyediakan sebuah jalan bagi kita. Ketika muncul pertanyaan dari seorang teman, "Sori nih sebelumnya, lu kan trauma sama psikolog, tapi kok lu masuk Psikologi?" Saya pun terkejut mendengarnya dan baru menyadarinya. Ternyata itu jalan yang disiapkan untuk saya dengan tujuan agar saya dapat belajar merefleksikan diri dengan lebih baik. Ketika waktunya tiba, rekonsiliasi dengan trauma akan sangat memungkinkan untuk terjadi. Saat itu pula saatnya lepas dari trauma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar