Kamis, 27 Desember 2012

Perfeksionis?

    Setelah sekian lama menunggu akhirnya datang juga satu umpan balik mengenai blog ini dari seorang teman. Dia bilang, "Gue salut sama tata bahasa lu. Rapih banget (ya iyalah, kalo bukan gitu bukan MR.PERFEK namanya). Tapi maaf ya, saking rapihnya jadi baku. Karna baku jadi susah dipahami. Alhasil jadi bosenin. strateginya biar jatohnya ga bosen lu masukin cerita dengan bahasa baku." MR.Perfek?? Perfeksionis? Oh My God, cuek begini dibilang perfeksionis... Perfeksionis dari Hongkalikong?!

    Sebenarnya bukan dia saja yang bilang saya ini perfeksionis, hampir semua teman berkomentar demikian. Nih, sekarang saya kasih contoh komentar-komentar kalau misalnya saya perfeksionis:
  1. "Aduhhh, ini masih salahh... coba benerin lagi..." (padahal cuma kurang huruf besar dan tugasnya sudah diprint dan akan dkumpul)
  2. "Ya ampuunn, bisa kerja ga sih? bersihin lagi." (sedikit noda di baju yang tidak dapat hilang)
  3. bla bla bla...
Kata kuncinya itu seseorang yang perfeksionis tidak mentoleransi adanya kesalahan. Dia juga menetapkan standar yang sangat tinggi untuk dirinya sendiri, tanpa sadar standar itu juga diterapkan pada orang lain. Itulah sebabnya dia meninggalkan kesan "perfect" (sempurna) dan dibilang perfeksionis.
     Kembali lagi ke kasus yang pertama. Kalau dibilang perfeksionis sebenarnya saya hanya punya kecenderungan saja. Untuk tugas-tugas di kampus saya kurang  menuntut anggota kelompok saya agar sesuai dengan standar yang saya mau. Tergantung standar mereka secara keseluruhan seperti apa, saya ikuti. Itu anak orang BUKAN robot! Robot dapat diatur  sesuai yang kita mau, kalau orang memiliki karekateristik sendiri. Kalau terlalu dipaksa itu sih penganiayaan.... Lantas apa makna "Bhinneka Tunggal Ika" yang ada di Indonesia? Keberagaman harus dihargai, termasuk keberagaman karakter seseorang, bukankah demikian?
     Saya hanya perfeksionis dalam satu bidang saja, yaitu seni rupa. Di dalam ciri estetika seni rupa ada istilah "unity" (kesatuan). Kesatuan dapat dicapai dengan menyelaraskan warna, gambar, garis, dan lain-lain sehingga tampak harmonis. Kalau satu komponen tidak selaras otomatis itu seakan-akan "mengiritasi" pandangan kita. Jadi saya berusaha semaksimal mungkin agar karya seni yang saya buat tetap tampak harmonis. Sekarang apa jadinya kalau dalam bidang psikologi saya juga perfeksionis? Kasihan kliennya kalau saya jadi psikolog. Dengan kepribadian perfeksionis seorang psikolog, mungkin klien dibentuk sampai sesempurna yang dia bayangkan. Intinya yang harus diobati bukan kliennya, tetapi psikolognya. Itulah salah satu kegunaan psikologi, berobat jalan, hehehe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar