Rabu, 30 Januari 2013

Musuh Terbesar Itu Diri Sendiri

Di segala kalangan usia, pasti pernah dijanjikan atau menjajikan sesuatu. Namun, yang namanya janji dapat diwujudkan maupun dibatalkan. Saat janji dibatalkan, perasaan kecewa, kesal, dan teman-temannya selalu bersama kita. Di balik itu semua, sebenarnya kita punya pilihan untuk mau melepaskan diri dari perasaan-perasaan itu atau tidak. Kalau melepaskan diri, artinya kita mampu menguasai diri. Namun, jika yang terjadi sebaliknya itu berarti perasaan menguasai kita, bukan kita yang menguasai diri sendiri. Memang belum tentu mudah melepaskan diri dari perasaan-perasaan seperti itu, tetapi selalu ada kesempatan di balik kesempitan.
     Rasa kecewa selalu ada saat janji dibatalkan atau ditunda. Rasa ini bercampur aduk dengan marah (tekanan darah semakin kuat), rasa dikhianati, dan teman-temannya. Ini dapat disbut sebagai pikiran irasional. Adanya pikiran ini dapat ditandai adanya pikiran negatif seperti rasa tidak suka pada realita, menyalahi realita, memandang orang lain yang salah, dan lain-lain. Pikiran ini boleh tetap hidup, tetapi harus diwaspadai kadarnya, jangan sampai berlebihan. Cara melawannya, cukup manfaatkan lawannya, pikiran rasional. Saat merasa tidak suka janji dibatalkan, gunakan model ABC yang dideskripsikan oleh Dr. Albert Ellis, perintis rational emotive behavior therapy. A: Activating event (situasinya); B: Beliefs (pikiran dan sikap); dan C: Consequence (perasaan dan tindakan).

Berdasarkan Pikiran Irasional
A: "dia membatalkan janji"
B: "tega-teganya dia batalin, pokoknya harus tetep jalan-jalan, titik! ga pake koma!"
C: "Pokoknya nanti gue bales dia!!"

      Model ABC dapat digunakan untuk mengatasi stres. Merasa kecewa, marah, dan diikuti perilaku (berpikir untuk membalas) itu menunjukkan adanya gejala stres. Pertanyaannya, mau berpikir seperti ini? Masalah tidak selesai, tetapi malah meretakkan hubungan persahabatan. Atau mau melawan pikiran ini? Mau? mau? mau?

Cara Menyelesaikan dengan Pikiran Rasional
     Caranya adalah menambahkan D dan E ke dalam model ABC. D: Disputing (melawan), sedangkan E: Effective new thinking (pikiran baru yang positif).D dilakukan dengan mengajukan sejumlah pertanyaan kepada diri sendiri, sedangkan E dilakukan dengan mengevaluasi diri.

D: "Kenapa gue mesti mikir buat bales dia? Apa gue harus? Kalo gue bales, hasilnya gimana? Ada ga sih cara lain buat selesain? Atau ada hal lain yang bisa dilakuin selain jalan-jalan? Bagusan mana sama jalan-jalan?"

E: "Awalnya gue ga trima kalo janji uda dibikin jauh-jauh hari trus dibatalin.. tapi kalo dipikir-pikir, ntar kalo masuk kuliah ga ada duit buat beli buku kalo jalan-jalan kluarin duit, tapi ga kluarin duit tuh susah kalo jalan-jalan. endingnya kuliah keteteran extra tinggal kelas. Begitu mutusin buat ga pegi rasanya fly gitu, uda ga ada yang dipikirin, kuliah lebih lancar damai sentosa... sesuatu!"

     Sebaiknya tidak langsung marah kalau janji dibatalkan. Marah itu merusak fisik dan psikis. Saat marah, tensi darah akan semakin kuat, sehingga berbahaya bagi pembuluh darah kalau terlalu kuat. Tidak suka karena janji dibatalkan menyebabkan marah, marah dapat diekspresikan dengan agresi secara verbal maupun fisik, diarahkan ke luar diri maupun ke diri sendiri. Kalau diarahkan ke luar, bisa melampiaskan amarah ke orang lain (verbal) dan melukai orang lain secara fisik karena tidak mampu menahan emosi lagi. Dapat juga berdiam diri terus menerus memikirkan masalah tanpa usaha menyelesaikan dan menyakiti diri sendiri (melampiaskan amarah secara fisik maupun verbal ke diri sendiri), tentu tidak sehat.

      Manusia itu seperti halnya mata uang, memiliki dua sisi. Pilihan ada di tangan manusia, mereka bisa memilih salah satunya  untuk menjadi pedoman hidupnya.Pikiran irasional itu bak musuh dalam selimut, sekali muncul langsung menikam dari belakang. Dia takut dengan pikiran rasional, alias lawannya. Akan tetapi, masih sulit dikalahkan dengan pikiran rasional apabila dia sudah menguasai pikiran dan emosi yang berujung pada perilaku. Tentu saja harus perlahan-lahan sambil mengatur napas melakukan model ABC. Mengatur napas akan menstabilkan fungsi tubuh agar mudah berpikir jernih. Dengan pikiran rasional (sisi terang), ibaratnya kita sedang melawan diri kita sendiri, sisi gelap yang merupakan musuh terbesar kita. Hidup itu pilihan, pilihan ada di tangan Anda, karena Anda begitu berharga... Takdir menentukan kita memiliki dua sisi itu, sisanya adalah pilihan kita ingin berpihak pada sisi mana. Bukankah begitu? "Kalau bisa menguasai diri, itu baru namanya #cetarrr sekali sampai terpampang dari Sabang ke Merauke sepanjang Nusantara! (modifikasi kata-kata Mbak Syahrini, hehe)."

Jumat, 18 Januari 2013

Di Dalam Kegelapan Ada Setitik Cahaya

Tanggal 17 Januari 2013 terjadi banjir sepinggang di daerah Kebon Jeruk II Sawah Besar. Banjir adalah hal yang lazim, sayangnya kejadian yang tak diharapkan terjadi. Banjir terjadi sebelum Pk. 08.00, ketika Pk. 08.30 listrik padam alias mati lampu. Mati lampu itu berlangsung sampai 41,5 jam lamanya. Segala rencana beraktivitas dan rutinitas terganggu total. Bahan makanan yang disimpan di kulkas pun bisa rusak karena tidak dapat diawetkan dalam suhu rendah dikarenakan kulkas juga tidak menyala. Krisis air juga hampir terjadi, bak air yang ada di rumah terendam banjir, airnya pun kotor, sehingga harus memakai air sehemat mungkin. Kejadian terfatal adalah hari itu tepat Pk. 12.40 saya harus mengisi Kartu Rencana Studi (KRS) untuk kuliah semester 6 sementara listrik masih padam dan banjir masih belum surut. Saya sudah tidak tahu harus bagaimana, sempat bingung, sempat "bengong" meratapi nasib.

     Ketika bangun Pk. 08.00, saya sengaja tidak kembali berbaring di ranjang supaya tidak tergoda untuk tidur. Udara dingin dan suasana remang-remang romantis selalu menggoda untuk menutup mata. Saya pun melawan rasa malas dengan sesuatu yang saya suka, yaitu main game di komputer supaya mata tetap terjaga. Sebaliknya, malah tergoda untuk main game. Selama asyik-asyiknya main, tiba-tiba bet! Listrik padam! Saya pikir mungkin hanya berlangsung satu sampai dua jam, ya sutralah biarkan saja, kembali tidur (terkena godaan alam). Pk. 10.00 pun saya terbangun, terkejut masih mati lampu dan hujan deras sementara banjir belum surut. Pikiran pun melayang ke jadwal pengisian KRS, keinginan berbuat nekad muncul, "Kalau sampai jam 12.40 listrik masih mati, gue rela deh banjir-banjiran ujan-ujanan jalan ke Sevel pinjem Wi-Fi buat isi jadwal." Selagi bergalau ria saya juga sempat mengobrol dengan teman-teman untuk menemukan solusinya, ternyata ada seorang teman yang menawarkan diri untuk mengisi jadwal. Akhirnya saya memutuskan untuk meminta bantuannya untuk saat ini. Saya benar-benar ber terimakasih kepada dia. Kalau dia tidak ada, saya tidak bisa mengisi jadwal tepat waktu dan memperoleh kesempatan kuliah semester 6 dengan jadwal itu.
     Oh ternyataaaa.... Ada apa gerangan??? Pk. 12.40 banjir sama sekali tidak surut, malah bertambah dalam dari semata kaki menjadi sedengkul. Listrik yang masih padam juga membuat saya semakin stres. Stres dicampur tegang hasilnya rujak bebeg. Tegang memikirkan bagaimana hasil pengisian jadwal bercampur aduk dengan stres karena benar-benar kehabisan ide mau melakukan aktivitas apa. Sejak pagi cahaya matahari pun sama sekali tidak terlihat dan terasa teriknya. Alhasil, suasana menjadi gelap gurita, mau menggambar, melukis, membaca, belajar, menonton, dan lain-lain semuanya tidak bisa dilakukan karena listrik padam dan kurang pencahayaan. "Mutung" mode on.... (melamun tanpa pikiran) Perasaan panik senantiasa menemani... Barang dagangan Papa bisa terendam banjir di lantai 1. Kami sekeluarga bergegas turun ke lantai 1 untuk mengamankan barang dari TKP (Tempat Kejadian Pembasahan massal). Sebelumnya mahasiswa yang mengandalkan otak untuk mengatur siasat belajar berubah menjadi maha-angkut barang yang mengandalkan otot. Teman saya juga bernasib sama seperti ini harus mengangkut barang ke tempat lebih tinggi menghindari banjir. Bisa-bisa tiba saatnya kuliah dia jadi six-pack, saya jadi triplek pada akhirnya.
      Banjir dan mati lampu masih setia menemani sepanjang malam bersama dengan nyamuk-nyamuk tercinta. Kalau yang menemani itu game komputer ekstra sinetron masih OK, ini nyamuk (tamu tak diundang).. Saya dan teman-teman juga terpaksa menunda jadwal belajar untuk 1 mata kuliah persiapan smester 6, karena pada akhirnya akan scuba diving di kampus. Saya masih berharap banjir surut dan lampu menyala keesokan harinya ketika bangun. Keesokan harinya harapan itu tidak terkabul, malah sama saja. Bedanya kali ini kami sekeluarga menimba air dari bak di depan rumah agar dapat membersihkannya. "Beneran jadi triplek pas masuk kuliah ini mah...." saya bergumam. Selain itu aktivitas yang dilakukan adalah kembali mutung. Mungkin ada yang pernah membaca tulisan sebelumnya dalam blog ini mengenai "bosan di tempat kerja", intinya bosan mendatangkan kreativitas, kita lihat dalam situasi "mutung" kali ini. Selama "mutung" saya berimajinasi seorang teman yang selalu membuat kuliah penuh skandal (perilakunya sering mendatangkan tawa) dalam kondisi kebanjiran. Kemarin, saya sempat bercanda dengan dia, berikut ini sedikit dialog SMS (short message send)-nya:

Saya: "Banjir-banjir gini mendingan kita buka usaha swimming pool sama scuba diving, lumayan tuh"
Dia: "iya, surfing juga bisa. Pake gerobak, wkwkwkwwkkkk"

Surfing? Gerobak? Nice... Saya membayangkan dia naik di atas gerobak berwarna jingga hitam-hitam (terkena kotoran banjir) dengan baju shocking pink. Di belakang gerobak dipasang payung pantai yang warna-warni itu lhoo.... Kemudian di bagian bawah belakang gerobak dipasangi mesin untuk motor boat. Ketika gerobak itu surfing di tengah banjir, dia berseru dengan gaya gemulai, "Halo semuanyaaaa.... Naek yuk, enak looo.... (melambaikan tangan)" "Yoouuuu stress youuu.... Surfing pake gerobak..." "This is it! Motor Boat ala Parah Queen!!!" NOTE: Ini cuma kalimat Farah Quinn yang dimodifikasi. Kalau Farah Quinn itu master dalam memasak makanan yang selalu menggugah selera. Kalau Parah Queen, master pembuat skandal, skandalnya yang menggugah selera. Lumayan, di tengah-tengah banjir ekstra mati lampu masih bisa tersenyum meskipun hanya sedikit. Kreativitas yang mendatangkan senyum datang di saat sedang bosan tidak ada kegiatan. Tidak selamanya bosan selalu berdampak negatif, masih bisa dimanfaatkan pada akhirnya. Setelah tersenyum-senyum sendiri, saya tertidur pulas.
Lihatlah wajah mereka yang tersenyum.
Banjir tidak selalu disertai tangisan,
tetapi juga senyuman mereka.
     Tepat hari ini Pk. 06.00 mata terbuka dan melihat ada sinar lampu kuning dari kamar mama. Masih tidak percaya, saya mendekat ke sana dan melihat ada lampu bohlam yang menyala. WOW!!! AMAZINGGG!!! Akhirnya listrik kembali hidup! So sweet!! Hal pertama yangs aya lakukan adalang men-charge handphone. Sudah 1 hari penuh saya tidak menyalakannya karena kehabisan baterai. Kemudian bergegas menyalakan komputer dan membuka Facebook (Fb), untuk melihat bagaimana respon-respon teman-teman seangkatan waktu KRS dan me-reply komentar-komentar mereka ke status Fb yang saya tulis tanggal 17 Januari lalu sebelum Pk. 12.40 lewat handphone:

"jijiji~ tgl bk usaha swimming pool & scuba diving dpn rmh (mmanfaatkan banjir), wkwkwk Tp ap kabar neh KRS ntar? Listrik aj KO..== acem = harap cemas" 

Kejadian selama 2 hari lebih ini secara sekilas tampaknya tidak menyenangkan. Akan tetapi saya mencoba melihat dari sisi yang lain. Lewat kejadian ini saya bisa belajar untuk tetap berpegang pada harapan dan lebih bersabar menunggu sesuatu yang positif akan terjadi. Kita hidup karena kita memiliki harapan. Setiap bangun pagi selalu berpikir:

Aku ingin begini
Aku ingin begitu
Ingin ini itu banyak sekali 


Semua semua semua
Dapat dikabulkan
Dapat dikabulkan
Dengan kantong ajaib 

...

(Kutip: Lagu Doraemon versi Indonesia) 


Selalu ada rencana dan keinginan untuk melakukan ini dan itu. Harapan membuat kita bertahan hidup, misalnya harapan ingin makan dan ingin minum. Jika tidak ada keinginan untuk makan dan minum, yang terjadi kita benar-benar tidak makan dan minum karena tidak merasa lapar dan haus, bukankah begitu? Harapan itu membuat kita memiliki tujuan, dapat bertahan dalam situasi sulit, membawa senyuman,dan membawa setitik cahaya dalam kegelapan, habis gelap terbitlah terang.

Sabtu, 12 Januari 2013

"Down To Earth"

Pagi ini saya membaca sedikit artikel yang di-share melalui jejaring sosial dan membaca sedikit berita di internet. Lumayan, tiada rotan akar pun jadi. Tidak ada makanan, internet pun dimangsa untuk sarapan. Isinya itu ada seseorang yang mengritik pemimpinnya yang baru, dia menganggap pemimpinnya itu kurang kompeten karena dianggap memperparah keadaan yang sudah parah. Dia menganggap pekerjaan pemimpinnya itu tidak pernah selesai. Tiba-tiba dia justru mencalonkan dirinya sebagai pemimpin karena merasa mampu dan percaya diri. Pada kesempatan kali ini, coba kita imajinasikan diri kita berada dalam situasi ini. Pertanyaannya, ada apakah di balik ini semua? Udang di balik bakwan.... 

    Kata "tidak kompeten" biasanya ditujukan untuk orang yang dipandang tidak mampu melakukan pekerjaannya dengan baik. Darimana kita mengatakannya tidak kompeten? Tentu kita memiliki kriteria agar kinerja dikatakan kompeten, hanya saja kriteria itu dapat berbeda. Ada yang mengatakan kompeten jika pekerjaannya selalu selesai tepat waktu. Ada yang mengatakan kompeten jika kinerjanya selalu memuaskan, dan masih banyak lagi. Akan tetapi, hati-hati jika berbicara, terutama mengritik seorang pemimpin. Boleh saja mengritik, tetapi alangkah baiknya jika mengritik berdasarkan fakta setelah memahami betul fakta tersebut, bukan sekedar opini semata
    Saat membicarakan mengenai kepemimpinan (leadership), tidak akan lengkap kalau tidak membicarakan mengenai pengikut (follower). Seseorang dapat dikatakan pemimpin jika ada pengikut. Misalkan pengikutnya itu tidak ada, siapa yang dipimpin? Tanya saja pada rumput yang bergoyang...^^ Sebagai pemimpin, dia harus mengerti apa yang dibutuhkan dan diperlukan oleh pengikutnya, tidak hanya sekedar membuat keputusan. Keputusan memang dibuat oleh pemimpin, tetapi keputusan itu sebaiknya bermanfaat bagi kelompok itu sendiri. Lantas, bagaimana agar seorang pemimpin mengerti itu semua? Sekali-sekali baik itu calon pemimpin atau seorang pemimpin harus mencoba berperan sebagai seorang pengikut. Saya pernah mengikuti acara Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) ketika masuk ke dalam organisasi. Istilah untuk seorang pemimpin atau calon pemimpin yang mencoba menempatkan diri sebagai pengikut adalah "down to earth". Supaya lebih mudah membayangkan, bayangkan saja seandainya kita terbang, apakah kita akan selamanya di udara? Pada saat tertentu kita akan kembali berpijak di atas tanah. Artinya, sebagai seorang pemimpin jangan lupa sebelumnya kita bukan pemimpin, kita juga pernah dipimpin. Sejak lahir sebenarnya kita sudah dipimpin. Di dalam keluarga biasanya terdapat kepala keluarga, itulah pemimpin kita. 
     Manfaatnya "down to earth" itu apa sebenarnya? Ketika memposisikan diri sebagai pengikut, kita akan merasakan apa yang kita inginkan dari seorang pemimpin. Selama di dalam kelompok dengan seorang pemimpin, selalu saja kita berpikir "Coba kalo dia begini aja, pasti jadinya lebih bagus." Itulah keinginan kita terhadap pemimpin. Pemimpin memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan bagi kelompoknya. Selama proses pengambilan keputusannya, bukankah lebih baik jika mempertimbangkan harapan-harapan dari para anggota kelompok? Kembali lagi ke kasus semula, seseorang yang melontarkan kritikan seperti tadi mungkin belum dapat melihat dari berbagai dimensi, sehingga yang digunakan itu masih kriterianya sendiri dalam menilai. Keterampilan melihat dari berbagai dimensi memang harus dilatih, salah satunya menempatkan diri sebagai pengikut. Dengan berperan sebagai pengikut kita memang akan mengetahui kelemahan pemimpin kita, alangkah baiknya jika kita tidak terlalu cepat mengatakan pemimpin tidak kompeten. Apakah dia sudah mempelajari kinerja pemimpin ini dari awal sampai sekarang? Apakah dia mengetahui kesulitan-kesulitan yang dihadapi pemimpin dan bagaimana mengatasinya? Apakah ia mengetahui bagaimana mengantisipasi kejadian yang tidak diharapkan saat memimpin? Pertanyaan-pertanyaan ini baru sebagian kecil dari dimensi-dimensi yang saya maksudkan tadi, masih banyak lagi. 
     Semua butuh proses, tidak ada yang instan seperti produk instan yang sekali disiram air panas sudah matang. Instan belum tentu bagus, proses jauh lebih bagus. Dengan menjalani sebuah proses, kita dapat mengintrospeksi diri dan dapat menempatkan diri di posisi orang lain, termasuk saat berusaha belajar memandang dari berbagai dimensi. Itulah keunggulannya, kalau instan yang ada hanya persiapan dan hasil akhir, prosesnya mudah. Proses yang mudah cenderung membuat kita mengasosiasikan segala sesuatu itu mudah, kenapa harus dipersulit? Beranggapan demikian secara tidak langsung menutup mata kita dari sudut-sudut pandang lainnya, sehingga menjadi subjektif. Instan juga dapat dikatakan bagus, kalau sedang Unit Gawat Darurat (UGD) alias "kepepet" jadi bisa langsung berinisiatif mengambil keputusan, Tokoh tadi mengatakan pemimpinnya tidak pernah menyelesaikan pekerjaannya. Namun demikian, apa dia sudah melihat apa yang dipersiapkan pemimpinnya sampai sekarang? Bisa jadi pemimpinnya melakukan banyak pengumpulan data, membuat keputusan harus bagaimana mengatasi masalah, lalu baru menjalaninya. Jadikanlah kasus ini sebagai pelajaran, biarkanlah pikiran kita membentang luas agar dapat menempatkan diri di posisi orang lain dan tidak hanya sekedar mengritik. Ada ungkapan "Mulutmu harimaumu." Mulut dapat menjadi senjata ampuh untuk mengoreksi kesalahan, tetapi di sisi lain mulut juga dapat menjadi bumerang bagi kita, seperti pedang bermata dua.



"Bosan" di Tempat Kerja

Pernah merasa bosan saat sedang bekerja? Sesuka-sukanya kita dengan pekerjaan selalu ada satu titik dimana kita merasa jenuh, tidak dapat berpikir, atau tidak mempunyai ide. Biasanya muncul kata-kata "Lagi buntu nih otak gue, lagi ga bisa mikir." Kalau yang disebut "tempat kerja" beberapa yang terbayang lagi-lagi kantor dan perusahaan. Sebenarnya aktivitas "kerja" tidak hanya itu, bahkan konteks kuliah, rumah tangga, sekolah, dan lain-lain pun juga dapat dikatakan kerja. Alasannya, pada setiap konteks itu memungkinkan seseorang melakukan aktivitas, sehingga dapat dikatakan sebagai konteks kerja.

     Saat sedang bosan, secara tidak sengaja kita meninggalkan pekerjaan. Kedua mata hanya menatap pekerjaan, tetapi tidak memahami apa yang dilihat alias "melamun" atau "bengong". Ketika ditanya, "yang ini maksudnya apa?" Dia malah terkejut, "Hah? Apa? Ada Apa?" Loading lama alias delay, telat berpikir. Gara-gara delay, pekerjaan terbengkalai dan target kita menjadi tidak tercapai dalam pekerjaan. Itulah yang selama ini menjadi bayang-bayang kita. Rasanya seperti apa jika hidup di dalam kegelapan alias bayang-bayang? Akibat delay, ada orang-orang yang berusaha menghindari kebosanan. Di tengah waktu kerja dia meninggalkan pekerjaan sejenak lalu gosip, jalan-jalan, makan-makan, main game, dan lain-lain. Niatnya supaya lebih fresh dan semangat kerja kembali. Mau fresh? Pilih minyak angin Freshcare, yang ga fresh I don't care.... (iklan minyak angin Freshcare)
     Nah, makanya di posting ini saya mencoba membuka wawasan kita mengenai rasa bosan di tempat kerja. Berdasarkan apa yang saya tangkap dari artikel yang saya baca, bosan itu identik dengan imajinasi. Contohnya waktu bekerja, kita melamun dan memikirkan "Coba kalau ada sihir, sekali tring! Selesai deh tuh kerjaan." Memangnya hidup ini hidup di dunia Hari Potret yang sekolah di Hogwarts?! Ini hanya 1 stimulus bagi kita untuk mengubah kondisi ini. Di sini kita dapat menyelesaikan masalahnya secara langsung untuk meredam stres. Coba kita olah stimulus itu, kita dapat menciptakan sihir kita sendiri untuk menyelesaikan masalah. Sihir dunia nyata kita sebut saja itu "siasat", bukan tongkat sihir si Hari Potret.
Bosan mendatangkan imajinasi. Imajinasi mendatangkan ide-ide.
      Kita ambil 1 contoh, misalnya mahasiswa yang akan menghadapi Ujian Akhir Semester (UAS). Keluhan yang pernah muncul, "Duhhh gila ni dosen, bahannya sampe 15 bab gimana blajarnya??" Kalau diberitahu "Lu blajarnya nyicil aja." Pernyataan berikutnya, "Gue ga bisa nyicil, pas deket ujian biasanya lupa lagi yang gue blajar. Bisanya malem sebelom ujian." Tenang, ini bukan akhir dunia, ini hanya permulaan. Dengan imajinasi Hari Potret tadi coba kita modifikasi "nyicil." Apakah "nyicil" itu harus belajar? Tentu tidak... Kita bisa mulai dengan menandai bagian mana saja yang penting dalam materi ujiannya. Kita bisa menambahkan catatan, bisa merangkum, membuat mind map, dan sebagainya. Intinya kita mempersiapkan sesuatu menjelang 1 hari sebelum ujian. Cara lainnya kita dapat mencobanya dari 2 hari sebelum ujian untuk belajar. Ujian berikutnya belajar dari 3 hari sebelum ujian, dan seterusnya. Maksudnya adalah membiasakan diri dengan "nyicil" secara perlahan. Jika merasa kesulitan, ada baiknya melakukan adaptasi demikian. Mau belajar 1 hari sebelum ujian? Silakan. Mau belajar mencicil materi, silakan. Terkait dengan pelarian dari bosan tadi (gosip jalan-jalan dkk.). Kalau mau melakukannya boleh saja. Asalkan pada saat bosan jangan langsung menghindar. Menghindarinya berarti menghindari peluang menemukan siasat yang bermanfaat. Diamlah sejenak bersama kebosanan, setelah berimajinasi sejenak baru tinggalkan tempat kerja untuk menyegarkan diri. Umumnya imajinasi itu kita abaikan. Namun, jika sudah berimajinasi dan menyegarkan pikiran, ide-ide baru itu dapat diproduksi dengan lebih efektif. Setelah mendapat ide atau ilham jangan lupa kembali ke tempat kerja dan selesaikan masalahnya. Semua pilihan ada di tangan Anda, karena Anda begitu berharga (kali ini iklan Loreal).


Sumber artikel: 

Kamis, 10 Januari 2013

Si Pelit Vs. Si Kutu Buku

     Kembali bernostalgia semasa semester 2.... Di semester 2 kami diwajibkan untuk mengambil mata kuliah antropobiologi dengan judul buku wajib "Evolutionary Psychology". Harga bukunya memang mahal mencapai ratusan ribu rupiah ditambah sebagian besar isinya hitam putih. Tentu ini keliatannya sangat memberatkan bagi si pelit, dia harus mengeluarkan uang lebih untuk buku hitam putih. Secara sekilas memang buku ini sulit dipahami, tetapi apakah si pelit sudah menilai seluruh konten dalam buku ini???

      Kebetulan temannya si pelit adalah seorang kutu buku. Dia gemar membaca buku, terutama pada saat liburan. Selama kuliah dia menghabiskan waktu untuk membaca buku pelajaran, tetapi saat liburan tiba, buku-buku lain pun siap disantap. Selama di kelas, belum ada mahasiswa yang berhasil menyajikan materi buku ini dengan ringkas dan mudah dipahami. Alhasil, presentasinya pun menjadi berbelit-belit, salah menerjemahkan, dan "ribet" alias "rempong". Si kutu buku ini penasaran dengan buku itu, "Masa sih buku ini bisa bernilai ratusan ribu kalau memang jelek?" pikirnya. Akhirnya dia pun mengambil buku yang sama dari lemarinya dan mulai membacanya. Setelah membaca tiga bab, dia menemukan sesuatu yang menarik! Psikologi evolusioner atau antropobiologi tidak hanya membahas bagaimana manusia berevolusi secara fisik seperti evolusi kera menjadi manusia (teori Darwin). Manusia juga mengalami perubahan dalam hal kognisi, perilaku, dan lain-lain. Perubahan itu dapat dijadikan acuan untuk memperkirakan darimana asalnya perilaku manusia yang sekarang dan bagaimana prosesnya. Tentu saja penting bagi si kutu buku dan si pelit yang sama-sama kuliah di Fakultas Psikologi. Psikologi pada dasarnya adalah ilmu yang mempelajari proses mental dan perilaku manusia, sehingga materi ini dapat dikatakan penting untuk memperkaya pemahaman teori psikologi lainnya.
       Buku ini memang berbahasa Inggris, bagi anak semester 1 dan semester 2 bahasa ini masih dianggap "bahasa Dewa". Mereka masih beradaptasi dengan buku-buku berbahasa Inggris dan memang tidak mudah. Namun, bagi mahasiswa yang sudah mencapai semester 5 seperti si pelit dan si kutu buku, mereka sudah mulai terbiasa. Sebenarnya tidak mustahil bagi mereka untuk mencari esensi dari buku itu. Pertanyaannya, mau atau tidak? bukan bisa atau tidak? Bukankah begitu? Sebuah buku tidak hanya dilihat dari tampilannya, seperti sampul, warna, dan kualitas kertas. Sebuah buku juga dapat dinilai dari materi yang dimuat di dalamnya. Bahkan karena esensinya, penampilan sebuah buku bisa diabaikan. Andaikan kita memasak sebuah hidangan. Hidangan yang kita buat terlihat biasa saja. Ketika dicicipi rasanya dapat melebihi hidangan hotel bintang 5. Jangan hanya menilai buku dari tampilan luarnya, lihat juga esensi yang terkandung di dalamnya untuk menemukan keindahan buku itu. Mau jadi si pelit atau si kutu buku?