Pagi ini saya membaca sedikit artikel yang di-share melalui jejaring sosial dan membaca sedikit berita di internet. Lumayan, tiada rotan akar pun jadi. Tidak ada makanan, internet pun dimangsa untuk sarapan. Isinya itu ada seseorang yang mengritik pemimpinnya yang baru, dia menganggap pemimpinnya itu kurang kompeten karena dianggap memperparah keadaan yang sudah parah. Dia menganggap pekerjaan pemimpinnya itu tidak pernah selesai. Tiba-tiba dia justru mencalonkan dirinya sebagai pemimpin karena merasa mampu dan percaya diri. Pada kesempatan kali ini, coba kita imajinasikan diri kita berada dalam situasi ini. Pertanyaannya, ada apakah di balik ini semua? Udang di balik bakwan....
Kata "tidak kompeten" biasanya ditujukan untuk orang yang dipandang tidak mampu melakukan pekerjaannya dengan baik. Darimana kita mengatakannya tidak kompeten? Tentu kita memiliki kriteria agar kinerja dikatakan kompeten, hanya saja kriteria itu dapat berbeda. Ada yang mengatakan kompeten jika pekerjaannya selalu selesai tepat waktu. Ada yang mengatakan kompeten jika kinerjanya selalu memuaskan, dan masih banyak lagi. Akan tetapi, hati-hati jika berbicara, terutama mengritik seorang pemimpin. Boleh saja mengritik, tetapi alangkah baiknya jika mengritik berdasarkan fakta setelah memahami betul fakta tersebut, bukan sekedar opini semata
Saat membicarakan mengenai kepemimpinan (leadership), tidak akan lengkap kalau tidak membicarakan mengenai pengikut (follower). Seseorang dapat dikatakan pemimpin jika ada pengikut. Misalkan pengikutnya itu tidak ada, siapa yang dipimpin? Tanya saja pada rumput yang bergoyang...^^ Sebagai pemimpin, dia harus mengerti apa yang dibutuhkan dan diperlukan oleh pengikutnya, tidak hanya sekedar membuat keputusan. Keputusan memang dibuat oleh pemimpin, tetapi keputusan itu sebaiknya bermanfaat bagi kelompok itu sendiri. Lantas, bagaimana agar seorang pemimpin mengerti itu semua? Sekali-sekali baik itu calon pemimpin atau seorang pemimpin harus mencoba berperan sebagai seorang pengikut. Saya pernah mengikuti acara Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) ketika masuk ke dalam organisasi. Istilah untuk seorang pemimpin atau calon pemimpin yang mencoba menempatkan diri sebagai pengikut adalah "down to earth". Supaya lebih mudah membayangkan, bayangkan saja seandainya kita terbang, apakah kita akan selamanya di udara? Pada saat tertentu kita akan kembali berpijak di atas tanah. Artinya, sebagai seorang pemimpin jangan lupa sebelumnya kita bukan pemimpin, kita juga pernah dipimpin. Sejak lahir sebenarnya kita sudah dipimpin. Di dalam keluarga biasanya terdapat kepala keluarga, itulah pemimpin kita.
Manfaatnya "down to earth" itu apa sebenarnya? Ketika memposisikan diri sebagai pengikut, kita akan merasakan apa yang kita inginkan dari seorang pemimpin. Selama di dalam kelompok dengan seorang pemimpin, selalu saja kita berpikir "Coba kalo dia begini aja, pasti jadinya lebih bagus." Itulah keinginan kita terhadap pemimpin. Pemimpin memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan bagi kelompoknya. Selama proses pengambilan keputusannya, bukankah lebih baik jika mempertimbangkan harapan-harapan dari para anggota kelompok? Kembali lagi ke kasus semula, seseorang yang melontarkan kritikan seperti tadi mungkin belum dapat melihat dari berbagai dimensi, sehingga yang digunakan itu masih kriterianya sendiri dalam menilai. Keterampilan melihat dari berbagai dimensi memang harus dilatih, salah satunya menempatkan diri sebagai pengikut. Dengan berperan sebagai pengikut kita memang akan mengetahui kelemahan pemimpin kita, alangkah baiknya jika kita tidak terlalu cepat mengatakan pemimpin tidak kompeten. Apakah dia sudah mempelajari kinerja pemimpin ini dari awal sampai sekarang? Apakah dia mengetahui kesulitan-kesulitan yang dihadapi pemimpin dan bagaimana mengatasinya? Apakah ia mengetahui bagaimana mengantisipasi kejadian yang tidak diharapkan saat memimpin? Pertanyaan-pertanyaan ini baru sebagian kecil dari dimensi-dimensi yang saya maksudkan tadi, masih banyak lagi.
Semua butuh proses, tidak ada yang instan seperti produk instan yang sekali disiram air panas sudah matang. Instan belum tentu bagus, proses jauh lebih bagus. Dengan menjalani sebuah proses, kita dapat mengintrospeksi diri dan dapat menempatkan diri di posisi orang lain, termasuk saat berusaha belajar memandang dari berbagai dimensi. Itulah keunggulannya, kalau instan yang ada hanya persiapan dan hasil akhir, prosesnya mudah. Proses yang mudah cenderung membuat kita mengasosiasikan segala sesuatu itu mudah, kenapa harus dipersulit? Beranggapan demikian secara tidak langsung menutup mata kita dari sudut-sudut pandang lainnya, sehingga menjadi subjektif. Instan juga dapat dikatakan bagus, kalau sedang Unit Gawat Darurat (UGD) alias "kepepet" jadi bisa langsung berinisiatif mengambil keputusan, Tokoh tadi mengatakan pemimpinnya tidak pernah menyelesaikan pekerjaannya. Namun demikian, apa dia sudah melihat apa yang dipersiapkan pemimpinnya sampai sekarang? Bisa jadi pemimpinnya melakukan banyak pengumpulan data, membuat keputusan harus bagaimana mengatasi masalah, lalu baru menjalaninya. Jadikanlah kasus ini sebagai pelajaran, biarkanlah pikiran kita membentang luas agar dapat menempatkan diri di posisi orang lain dan tidak hanya sekedar mengritik. Ada ungkapan "Mulutmu harimaumu." Mulut dapat menjadi senjata ampuh untuk mengoreksi kesalahan, tetapi di sisi lain mulut juga dapat menjadi bumerang bagi kita, seperti pedang bermata dua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar