Kamis, 21 Februari 2013

Kanvas Putih

     Manusia diciptakan oleh Sang Pencipta dengan sempurna, memiliki kelebihan dan kekurangan. Manusia memang tidak sempurna, namun mampu menjadi lebih baik lagi apabila mau mengakui kekurangannya dan memperbaikinya. Inilah alasan manusia tidak memiliki kesempurnaan. Ketidaksempurnaan membuat manusia memiliki daya juang untuk menjadi lebih baik. Ibarat sebuah kanvas putih, manusia dapat dipengaruhi oleh lingkungannya. Setiap warna yang disapu di atas kanvas itulah yang menentukan apakah nantinya kanvas itu menjadi indah atau tidak.


     Semester pertama saya kuliah di Fakultas Psikologi, saya tidak ada apa-apanya. Seiring berjalannya waktu, saya banyak belajar baik melalui kuliah, pengalaman dosen-dosen, berorganisasi selama 1 periode, seminar, maupun workshop. Melalui proses ini ternyata saya menemukan seperti apa diri saya sebenarnya. Saya sama sekali tidak menyangka adanya kekurangan-kekurangan seperti itu, saya pun seakan-akan dituntun untuk menemukan akar dari kekurangan itu dan mengatasinya. Selama kuliah, memang inilah tujuan akhirnya, mengenal diri sendiri sebelum mengenal diri orang lain alias berobat jalan. Satu per satu kekurangan yang saya miliki terungkap. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa proses belajar selalu membuat keringat bercucuran bersamaan dengan air mata. Tugas-tugas kuliah dan ujian-ujian serta hal-hal yang tidak dapat diprediksi selama kuliah dapat membuat seseorang stres, panik, marah, dan lain-lain. Hanya ada satu pertanyaan, Apakah semua itu memiliki sisi positif? Bukankah cara melihat dari berbagai sudut pandang seperti ini juga diajarkan dalam Psikologi?

     Selama berorganisasi, seringkali rapat program kerja (proker) diumumkan beberapa hari mendekati harinya. Rencana yang sudah saya buat harus diubah dengan mempertimbangkan jadwal rapat, ditambah lagi ada kerja kelompok untuk kuliah. Saya semakin kesal ketika hampir setengah jumlah anggota kelompok tidak bekerja dan teman saya harus melakukan kompensasi sendiri, padahal saya sudah menjelaskan apa yang harus dilakukan. Awal periode memang seperti itu, saya belum mampu menciptakan keselarasan antara kuliah dan organisasi. Seiring waktu, akhirnya seorang senior memberikan kritik kepada saya. Hal yang saya tangkap, saya harus bisa menguabah diri untuk mengimbangi kuliah dan organisasi. Ibarat sebuah kanvas yang sudah diwarnai, siapapun akan mengalami kesulitan untuk memberikan warna baru di atasnya. Namun, apabila kanvas itu putih dan membiarkan segala warna masuk, itulah saatnya kanvas berubah perlahan-lahan menjadi sebuah lukisan. Apabila kita mau membuka diri, berbagai warna kehidupan akan memberikan banyak sekali pengalaman berharga. Sebaliknya, jika terus menutup diri artinya kita mengasingkan diri dari berbagai pengalaman berharga.  Pilihan yang saya miliki adalah ingin menjadi kanvas yang mana? Itu merupakan suatu hal yang berharga yang saya dapatkan di dalam organisasi yang dapat dipergunakan di dalam kehidupan sehari-hari. Melalui organisasi saya juga belajar bagaimana caranya berdiskusi, mengambil keputusan, memantau performa seseorang dalam bekerja, mengenal sedikit bagian dari dunia kerja, dan lain-lain.

     Setelah melewati akhir periode organisasi saya dihadapkan pada sebuah pilihan sederhana. Teman saya mengajak saya menonton di bioskop bersama saudaranya. Ini adalah pertama kalinya saya mendapat kesempatan untuk jalan-jalan dengan keluarga teman, sayangnya saya belum terbiasa. Saya ragu dalam mengambil keputusan untuk ikut atau tidak. Teman saya pun tiba-tiba mengatakan bahwa saya tidak boleh selamanya seperti ini, saya harus berani encoba sesuatu yang baru. Memang benar ini adalah kritikan yang cukup pedas bagi saya, tetapi ini benar. Saya tidak mungkin terus mempertahankan pendirian di tengah perubahan. Belajarlah dari air, air bisa menempati wadah seperti apapun dengan membiarkan wadah membentuknya. Menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekitarnya secara efektif, itulah yang seharusnya dipahami dan diterapkan. Di sini saya menyadari bahwa saya sama sekali tidak fleksibel, sedangkan saya memerlukan fleksibilitas untuk menghadapi perubahan. Akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti saran dari teman saya, suka/tidak mau/tidak mau saya mencobanya dengan mengesampingkan perasaan tidak nyaman itu. Sementara waktu, yang dapat saya lakukan hanya bertahan dan mencoba bereaksi sewajarnya pada situasi yang terjadi, baik itu dapat diprediksi maupun tidak.

     Secara khusus saya sangat berterima kasih kepada organisasi tersebut dan teman saya, Mereka adalah keluarga Psikologi yang telah menyadarkan saya betapa pentingnya untuk belajar fleksibel. Andaikan saya tidak disadarkan, saya akan selalu cemas setiap menghadapi perubahan. Belajar fleksibel tidaklah mudah, terkadang kecenderungan untuk tidak fleksibel kembali muncul. Rasanya itu saya ingin menerima perubahan, tetapi di lain sisi juga ingin menolaknya. Perasaan ambivalen ini yang harus dihadapi selama mencoba untuk terus belajar. Sekali saja berhasil untuk fleksibel, itu sudah menjadi poin tambahan. Pengalaman berhasil itu akan menuntun kita untuk kembali fleksibel seperti apapun keadaannya. Keluarga Psikologi dapat diandaikan sebagai dua kuas yang siap memberi warna pada kanvas. Mereka memberikan beragam warna-warni berupa pengalaman berharga yang belum tentu dapat saya peroleh dimanapun. Kanvas ini belum sepenuhnya menjadi lukisan karena belum 100% diwarnai. Kanvas ini hanya menunggu sampai waktunya tiba untuk menjadi lukisan dengan terus membiarkan pengaruh-pengaruh positif seperti itu semua menjadi warnanya. Lukisan memang belum selesai, tetapi beraneka ragam warna itu telah menghasilkan harmoni, harmoni yang menunjukkan siapa saya sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar