Minggu, 31 Maret 2013

Satu Aspek Kehidupan Seksual

Kehidupan seksual tidak hanya sebatas kenikmatan menjalin hubungan seksual. Ada beberapa di antara kita yang tidak dapat merasakan kenikmatan itu, salah satu faktornya mereka mungkin mengalami disfungsi seksual. Kata "disfungsi" harus dibedakan dengan masalah-masalah umum yang terjadi dalam kehidupan seksual, karena sudah berbeda konteksnya. Permasalahan umum itu meliputi kurangnya rangsangan, kurangnya hasrat, dan tidak mampu rileks. Umumnya permasalahan ini tidak selalu terjadi dalam kehidupan seksual seseorang. Berbeda halnya dengan disfungsi seksual, sebab yang satu ini sudah mengarah pada gangguan-gangguan pada kehidupan seksual, baik karena faktor fisiologis, maupun psikologis (Carroll, 2010). Apakah setiap individu dapat mengalaminya? Bagaimana dengan individu yang mengalami disabilitas? Apakah mereka juga mengalami disfungsi seksual?

     Faktor-faktor psikologis yang dapat berpengaruh pada fungsi seksual, antara lain takut, stres, kecemasan, depresi, rasa bersalah, marah, ketidaksetiaan, dan lain-lain. Kita pilih satu contoh, "takut" misalnya. Ketika merasa takut, apa yang kita lakukan? Ada yang menghindar dari objek/situasinya, ada juga yang membuat objek/situasi itu tidak ada dari hadapannya. Sama halnya dalam berhubungan seksual, ketika rasa takut ini ada, mau melakukannya atau tidak? Anggap saja orang ini tetap melakukan hubungan seksual meskipun takut. Jangan lupa, faktor psikologis dan fisiologis itu berkesinambungan. Ada kemungkinan rasa takut itu cukup besar, sehingga kualitas hubungan seksualnya menurun. Konsepnya, kedua pihak harus sama-sama nyaman dan senang baru akan efektif hubungannya. Kalau salah satu saja pasangan hanya fokus melawan rasa takut bukan menikmati hubungan dengan pasangannya, bagaimana fisiknya akan merespon? Saat kita berpikir sesuatu yang nyaman, tubuh akan menyesuaikannya dengan pikiran, hasilnya kita merasa nyaman. Sebaliknya, jika kita berpikir sesuatu itu menakutkan, tubuh pun akan menyesuaikannya, hasilnya kita merasa takut dan tidak dapat menikmati hubungan seksual dengan pasangan, juga dapat disertai tidak muncul reaksi fisiologis dan psikologis terhadap rangsang dalam hubungan seksual. Faktor-faktor fisik tentunya faktor yang berkaitan dengan tubuh kita sendiri, misalnya rasa sakit, disabilitas, dan obat-obatan. Penekanannya tetap sama, nyaman atau tidak? cukup ini saja pertanyaannya. Misalkan salah satu faktornya adalah "rasa sakit," kalau sakit merasa nyaman atau tidak? Ketika merasa sakit kita cenderung berfokus pada rasa sakit tersebut, sehingga kenikmatan yang seharusnya dirasakan dalam hubungan seksual menjadi terabaikan. Akibatnya hubungan seksual menjadi tidak efektif, reaksi fisiologis dan psikologis terhadap rangsang dalam hubungan seksual pun tidak muncul. 

     Setelah memahami faktornya, kita sudah mulai mampu memahami gangguan atau disfungsi seksual. Secara umum, gangguan ini dapat diklasifikasikan menjadi sexual desire disorder, sexual arousal disorder,  orgasm disorder, sexual pain disorder, dan sexual dysfunction due to a general medical condition. Sexual desire disorder dicirikan dengan rendahnya dorongan seksual, bersifat sangat subyektif dan dapat merupakan pengaruh dari norma sosial. Berbeda halnya dengan sexual arousal disorder, seseorang mungkin saja memiliki keinginan seksual, tetapi mengalami kesulitan dalam mencapai atau mempertahankan gairah seksualnya. Sexual orgasm disoder berkaitan dengan gangguan yang diasosiasikan dengan "orgasme" (kepuasan dalam hubungan seksual), misalnya wanita yang sulit mencapai rasa puas dikarenakan masalah dengan seseorang tanpa adanya masalah medis, atau pria yang terlalu cepat ejakulasi saat berhubungan (Kring, 2010). Sedangkan sexual pain disorder ditandai dengan rasa sakit/kekejangan saat berhubungan seksual tanpa masalah medis. Kesimpulannya, empat gangguan pertama itu tidak dikarenakan masalah medis (fisik), sedangkan sexual dysfunction due to a general medical condition adalah yang diakibatkan faktor fisik.

     Sejak awal kita berbicara mengenai salah satu aspek kehidupan seksual pada individu yang tidak mengalami disabilitas. Namun, bagaimanakah kehidupan seksual penyandang disabilitas? Kita pilih sebuah contoh, misalnya seseorang yang mengalami Down's syndrome. Di masyarakat mereka dipandang sebagai golongan individu yang lemah secara fisik dan berinteligensi rendah, Memang benar, mereka seperti itu, tetapi apakah mereka terbatas dalam semua hal? Yakin?? Sebagai manusia, mereka pun memiliki kebutuhan yang sama seperti manusia yang tidak mengalami disabilitas pada umumnya, termasuk kebutuhan seksual. Mereka butuh rasa sayang dan perhatian sama seperti kita semua. Sebelumnya saya hanya pernah bertemu dengan seorang anak yang mengalami disabilitas ini sebelum belajar psikologi, bahkan saya tidak mengenalnya. Saya hanya mengetahui orangtuanya memberikan perhatian dan rasa sayang yang besar bagi anak ini, saya penasaran apa yang menjadi kelebihan dari anak ini. 

http://www.99fm.com.na/wp-content/uploads/2013/03/down-syndrome.jpg

     Ketika mengikuti seminar berjudul "Half Day with Down's Syndrome" akhirnya muncul gambaran baru. Di dalam seminar ini, kami berkesempatan bertemu langsung dengan sekelompok anak dengan disabilitas ini. Ternyata mereka mampu bermain musik, bernyanyi, bahkan ada yang mampu meraih juara satu untuk olahraga renang. Ada pula ungkapan bahwa mereka lebih stabil secara emosional daripada orang yang tidak mengalami disabilitas. Mengesankan bukan? Di dalam seminar ini pun disinggung bagaimana kehidupan seksual si anak dari persepsi orangtuanya. Orangtuanya mengungkapkan bahwa saat dia SMP, dia pernah berkata, "Ma, dia (teman perempuannya yang tidak mengalami disabilitas) cakep ma, kayaknya aku suka deh sama dia." Seperti yang kita tahu, saat mencapai usia SMP, ketertarikan seksual itu sudah mulai muncul, seringkali dikatakan sebagai "cinta monyet." Ini merupakan salah satu bukti ia ingin kebutuhan seksualnya terpenuhi, apa bedanya dengan anak-anak lainnya? Pada usia ini memang itulah yang terjadi pada anak yang mengalami disabilitas, maupun tidak. Tidak tertutup kemungkinan pula seseorang dengan Down's syndrome juga dapat mengalami disfungsi seksual, karena perkembangan seksual mereka itu tidak terhambat dan berlangsung seperti anak-anak pada umumnya. Mungkin saja seorang anak dengan Down's syndrome terbatas secara motorik dan inteligensi, tetapi mereka masih sama seperti kita pada dasarnya.

~Secara penampilan memang berbeda, tetapi selalu ada kesamaan di antara kita semua~

Referensi:
Carroll, J. L. (2010). Sexuality now: embracing diversities (3rd ed.). Belmont, CA: Wadsworth.
Kring, A. M., Johnson, S. L., Davison, G. C., & Neale, J. M. (2010). Abnormal psychology (11th ed.).  
     Wiley & Sons. New Jersey, NJ: Wiley & Sons.

Kamis, 28 Maret 2013

Laporan Hasil Wawancara

Seorang atau sekelompok wartawan yang sedang berburu berita baik itu dari selebritis atau dari orang-orang di tempat kejadian berlangsung selalu menampilkan sesuatu yang sama. Apakah itu? Membawa recorder, membawa buku catatan kecil, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terus bertambah banyak sampai segunung. Tujuannya adalah memperoleh berita dan menyajikannya kepada masyarakat. Bentuk penyajiannya pun beraneka ragam, ada yang melalui televisi, majalah, tabloid, dan lain-lain. Wawancara dalam psikologi pun hampir sama, kita tetap membuat laporan hasil wawancara. Apa saja isinya dan kegunaannya?

     Namanya laporan, ada sekian hal yang harus diingat, misalnya mencantumkan waktu berlangsungnya wawancara, tempatnya, dan biodata subyek. Tidak perlu membayangkan biodata yang dimaksud itu benar-benar rinci sampai nama lengkap, kode pos, hari kelahiran, jam kelahiran, dan lain-lain. Untuk nama, cukup inisial saja, alamat sudah cukup dengan daerahnya saja, misal: "Taman Shaggy (ini hanya nama karangan, bukan alamat yang dapat Anda jumpai dimanapun)." Mengapa demikian? Jangan lupa, rahasia narasumber itu ada di tangan kita. Sebagai orang yang dipercaya sudah seharusnya merahasiakan identitasnya saat hasil wawancara disajikan agar isinya tetap dapat disajikan tetapi tidak diketahui secara pasti siapakah subyeknya. Andai ketahuan karena nama lengkap, yang membacanya mungkin berkata "lho? itu kan tetangga saya yang begini-begini lhoo (mengungkapkan rahasia lain)." Semakin banyak informasi yang harus menjadi rahasia tiba-tiba tersebar kemana-mana dan tidak seharusnya terjadi. 

Hasil wawancara dikemas dalam bentuk laporan agar mudah
dibaca dan dipahami
Sumber: Matoa.org
     Proses berikutnya adalah menuliskan hasil wawancaranya. Secara umum terdapat tiga hal, antara lain hasil wawancara, observasi subyek, dan refleksi sebagai pewawancara. Hasil wawancara berisi cerita subyek secara sistematis, bukan cerita proses wawancara, yang disajikan itu berupa informasinya, bukan prosesnya. Prosesnya itu nanti dapat dibahas di bagian lainnya. Poin berikutnya observasi, observasi memang kadang-kadang terlihat subyektif, tergantung siapa yang melakukan. Siasatnya, yang disajikan itu adalah perilaku subyeknya secara konkret, spesifik, dan faktual tanpa kesimpulan dan opini dari kita sebagai pewawancara mengenai perilaku subyek. Apa saja yang dapat diobservasi? Singkatnya kita dapat mengobservasi dari lingkungan saat wawancara berlangsung, penampilan subyek, dan perilaku (verbal/nonverbal). Di awal dikatakan yang diobservasi itu perilaku, tetapi mengapa ada observasi lingkungan dan penampilan? Lingkungan (fisik/sosial) dan penampilan dapat memengaruhi perilaku seseorang. Contoh, kita melihat seorang perempuan sedang menggunakan kertas untuk mengipas-ngipas. Kalau diajukan pertanyaan, "Mengapa dia menampilkan perilaku itu?" Ternyata matahari sedang terik, ada asap kendaraan, dan ada asap ayam bakar (nanti rambutnya wangi parfum ayam bakar), sehingga dia mengipas untuk mengurangi asap dan panasnya udara. Bagaimana dengan penampilan? Bayangkan ada seseorang yang mengenakan mantel di tengah teriknya matahari sementara orang lain mengenakan T-Shirt, kenyataannya dia mengipas-ngipas juga. Berarti penampilannya membuatnya merasa panas, sehingga dia mengipas-ngipas. Inilah yang menunjukkan mengapa perlu mengobservasi lingkungan dan penampilan di samping observasi perilaku. Dari ketiganya, kita akan mampu mengetahui apa yang dirasakan seseorang termasuk emosi dan pikirannya.

Dengan bercermin kita akan tahu siapa dan
seperti apa kita di mata orang lain.
Sumber: bksmpn2turi.blogspot.com
     Poin terakhir adalah refleksi. Di bagian ini, seakan-akan kita bercermin dengan diri sendiri sebagai pewawancara. Kita mencoba mengaitkan apa saja yang kita perbuat dalam wawancara dengan teknik wawancara yang seharusnya. Misalnya mengaitkan perilaku kita dengan keterampilan dasar wawancara (dari membina hubungan baik dengan subyek sampai mendengarkan secara aktif). Ohhh ternyata cara saya membina hubungan itu masih belum bagus karena saya masih cenderung memasang ekspresi muka datar sampai subyek bingung harus berperilaku seperti apa. Ohhh rupanya terlalu banyak mencatat itu juga tidak baik, karena saya semakin asyik dengan catatan bukan dengan apa yang dikatakan subyek. Itulah maksudnya refleksi, sehingga kita akan mengetahui kelebihan dan kekurangan sebagai pewawancara atau bahkan mampu mempertahankan atau mengembangkan kemampuan wawancara kita selama ini. Sekadar mencari informasi siapapun mampu melakukannya termasuk dengan wawancara, tetapi belum tentu mampu menyajikannya dengan baik. Analoginya, di kelas ada mahasiswa yang sangat pintar, tetapi dia memiliki kelemahan "mentransfer" ilmunya kepada teman-teman. Hal terpenting itu bukan sebatas sebanyak apa informasi yang kita peroleh, tetapi bagaimana kita dan orang lain mengerti isinya melalui sebuah laporan.

Jumat, 22 Maret 2013

Sterilisasi

  Secara sederhana, kontrasepsi merupakan usaha untuk mencegah kehamilan. Ada yang mengatakan kehamilan dan punya anak itu adalah berkah, tetapi mengapa harus dicegah? Memiliki anak dalam sebuah keluarga memang sesuatu yang menyenangkan, tetapi di sisi lain tentu saja kesejahteraan anak dan keluarga harus diperhatikan. Bayangkan jika memiliki 10 anak tetapi tidak berkecukupan secara finansial, kasihan anaknya kan? Kebutuhannya terpaksa harus dibatasi, pendidikan pun menjadi terbatas, belum lagi masalah kesehatan dan lain-lain. Untuk itulah dilakukan kontrasepsi yang merupakan salah satu upayanya. Kotrasepsi itu sendiri bermacam-macam jenisnya, salah satunya adalah melalui permanent (surgical) methods atau yang biasa dikenal dengan sebutan sterilisasi.

     Sterilisasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu sterilisasi untuk wanita dan untuk pria. Pada wanita, sterilisasi dilakukan dengan tubal sterilization (tubektomi). Metode ini dilakukan dengan memotong, mengikat, atau pembakaran (kauterisasi) tuba fallopi yang merupakan saluran antara ovarium dan rahim untuk kontrasepsi permanen. Sterilisasi pada pria disebut vasektomi. Makanan apakah vasektomi itu? Vasektomi itu adalah metode operasi dalam memotong, kauterisasi, dan mengikat vas deferens pada penis (Carroll, 2010). Keduanya merupakan kontrasepsi yang bersifat permanen. Baik tubektomi, maupun vasektomi, tentu pasangan harus mempertimbangkannya dengan benar-benar matang sebelum melakukan. Kedua metode itu sama-sama tidak memengaruhi hormon dan tidak memiliki efek jangka panjang serta masih dapat bercinta, ini merupakan kelebihan jika dibandingkan dengan metode kontrasepsi lainnya yang bersifat hormonal. Para peneliti dari University of Southern California pernah melakukan penelitian mengenai hal ini. Penelitian itu dilakukan dengan menggunakan dua kelompok wanita yang mengalami kegemukan. Kelompok pertama berisi wanita yang menggunakan metode kontrasepsi non-hormonal; kelompok kedua berisi wanita yang menggunakan metode kontrasepsi hormonal. Hasilnya, terdapat perbedaan kandungan glukosa dalam darah berkaitan dengan kadar hormon progestin yang berasal dari kontrasepsi kelompok kedua yang mengakibatkan kegemukan pada wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal dalam penelitian ini.

isihatirevaival.blogspot.com

     Di kelas Perilaku Seksual muncul sebuah pertanyaan, "Kenapa sih kok kayaknya laki-laki itu susah buat diajak vasektomi?" Namanya vasektomi, selalu ada bayangan operasi permanen. Sesuatu yang permanen ini menjadi pertimbangan tersendiri bagi laki-laki untuk melakukan vasektomi. Siapa bilang memutuskan ini adalah hal yang mudah? Sebuah acara TV pernah mengangkat topik ini sekaligus membahas bagaimana prosedur dan perasaan pasien yang menjalani sterilisasi. Di acara ini diungkapkan, sebelum melakukan sterilisasi (tubektomi dan vasektomi) suami istri harus membuat kesepakatan terlebih dahulu, kalau perlu "hitam di atas putih" sebagai surat persetujuan dilakukannya sterilisasi. Dilakukannya sterilisasi sebenarnya bukan "permanen" dalam arti sebenarnya, tetapi masih dapat dilakukan pemulihan agar dapat kembali mempunyai anak. Seakan-akan ini keputusan besar bagi pria, apalagi pria yang takut kehilangan "kejantanannya," mungkin dia akan merasa sangat cemas jika diminta melakukan vasektomi. Kalau diajak untuk mengikuti acara-acara, menonton bioskop, menonton konser, dan lain-lain itu mudah memutuskannya. Kalau yang satu ini tidak mudah, karena harus memiliki komitmen yang kuat dan kesepakatan antara suami istri. Di dalam acara TV itu juga ada pembicara yang merupakan seorang pria yang pernah melakukan vasektomi. Beliau ditanya bagaimana perasaan setelah melakukannya. Dari komentarnya, Beliau merasa puas karena dapat bercinta dengan istrinya tanpa khawatir istrinya hamil lagi. Selain itu, apabila sang suami melakukannya itu menjadi nilai plus bagi istrinya. Seringkali suami meminta istrinya melakukan kontrasepsi, kalau salah ganti lagi dan ganti lagi. Pertanyaannya, apa sang suami mampu berkorban demi cinta  seperti istrinya melakukan hal itu? Jika mampu, komitmen pernikahan di antara keduanya akan semakin kuat berkat pengorbanan keduanya. Cinta di antara keduanya tidak lagi sekadar menerima, tetapi saling memberi kepada pasangannya.

Love is more than a noun--it is a verb; it is more than a feeling--it is caring, sharing, helping, sacrificing

-William Arthur Ward-

Referensi:
1. Carrol, J. L. (2010). Sexuality now: embracing diversity (3rd ed.). Belmont, CA: Wadsworth.
2. http://keluargaberencana.com/kontrasepsi/pilihan-metode/kontrasepsi-mantap/tubektomi/
3.  http://keluargaberencana.com/kontrasepsi/pilihan-metode/kontrasepsi-mantap/vasektomi/
4.  http://health.detik.com/read/2013/02/17/080202/2172100/763/alat-kontrasepsi-hormonal-tingkatkan- 
     risiko-diabetes-pada-wanita-gemuk

Kamis, 21 Maret 2013

Social History

     Sejak SMA sampai sekarang, kalau ada tugas wawancara selalu diberikan tujuan, misalnya wawancara guru, wawancara orangtua, wawancara seorang wirausahawan, wawancara psikolog, dan lain-lain. Namun, selama ini yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kemampuan membina hubungan yang baik agar wawancara menjadi lancar, melatih teknik bertanya, melatih cara berpikir kritis, dan sebagainya. Semua itu lebih mengarah ke teknisnya wawancara. Pernahkah terpikir apa saja yang dapat berpengaruh pada pengalaman narasumber dan pendapat-pendapatnya ketika diwawancara? Itulah yang akan kita bahas kali ini, social history (riwayat sosial)....

     Judulnya memang history (sejarah atau riwayat), jangan dianggap seperti pelajaran sejarah yang penuh dengan nama-nama artis dan tahun-tahun berjayanya. Konteksnya itu sosial, artinya yang kita bicarakan adalah konteks munculnya masalah klien dari lingkungan  sosialnya. Melalui riwayat sosial, kita akan mampu mengenal klien lebih dalam dan mengetahui akar masalahnya termasuk pandangannya terhadap sebuah peristiwa. Riwayat sosial ini beraneka ragam, dapat berupa cerita dari klien, family origin, pendidikan, dan masih banyak lagi. Konteks seperti apapun hampir sama, kalau berbincang atau wawancara dengan seseorang yang mencurahkan isi hatinya (curhat), apa yang kita cari? masalahnya. Masalah yang dialaminya itu yang menjadi target selama ini. Ketika ditanya, memangnya masalah itu darimana asalnya? Bingung, galau, tidak tahu, ragu-ragu menjawab, dan teman-temannya melebur dalam pikiran kita. Itu berarti kita belum dapat membantu orang ini, karena belum benar-benar mengerti peristiwa yang dihadapinya termasuk akar masalahnya. Poin terpentingnya itu seperti apakah orang ini memaknai peristiwa itu? Apa tujuannya? Agar kita mengetahui bagaimana dia menghadapi situasi itu tentunya. Seseorang yang datang kepada kita bukan orang yang tidak bisa menghadapi masalah. Mereka tahu caranya, tetapi cara yang digunakan itu tidak cukup efektif, sehingga membutuhkan bantuan dan dukungan dari kita.

pencenk-estry.blogspot.com
     Supaya mudah membayangkan tentang family origin, bayangkanlah pohon keluarga, bukan pohon tauge, pohon beringin, dan pohon pisang. Salah satu kegunaannya mengetahui darimana asalnya masalah yang dialami klien, baik itu berupa gangguan yang berasal dari lingkungan keluarga, atau secara genetik (keturunan). Misalkan apabila konteksnya klinis, anggota keluarga yang mana saja yang mengalami gangguan sama dengan klien? Apakah ada penyebab gangguan itu secara genetik? Lingkungan keluarga juga dapat memengaruhi apa yang terjadi pada klien. Contohnya satu rumah terdiri dari 10 keluarga dan keputusan klien (anak) harus dipertimbangkan oleh 10 keluarga itu. Andaikan 10 keluarga itu tidak menyetujui keputusannya, lebih berat tidak disetujui orangtua saja atau tidak disetujui oleh keluarga sendiri dan keluarga besar secara serempak? Bisa jadi pada akhirnya anak akan merasakan kecemasan saat ingin mengungkapkan pendapat atau keputusannya, sebab selalu berpikir akan ditolak sejumlah orang.

     Melalui pendidikan pun kita juga dapat mengenali seseorang. Melalui pendidikan kita dapat mengetahui bagaimana dan seberapa keras usahanya mencapai performa selama ini, termasuk seberapa baik performanya. Satu hal yang perlu diingat, seseorang yang sukses secara akademik belum tentu bagus juga di dunia kerja. Ada banyak sekali faktor yang memengaruhinya, salah satunya apakah dia mudah dibentuk oleh lingkungan kerjanya atau tidak. Lowongan kerja di koran umumnya menuliskan satu soft skill, yaitu fleksibilitas. Berarti kandidat diharapkan merupakan orang yang dapat menempatkan diri dalam berbagai situasi dan bersedia dibentuk. Terdapat kecenderungan bahwa orang yang berprestasi itu lebih sulit dibentuk, terutama apabila dia masih "memaksakan" konsep yang sudah dipelajari. Perlu diketahui, konsep yang dipelajari melalui pendidikan itu adalah dasarnya, di tempat kerja tersedia konsep pengembangannya. Itulah hambatannya dalam kesuksesan.
     Itu baru sebagian kecil dari riwayat sosial, tidak perlu galau karena memikirkan apa saja yang tercakup dalam riwayat sosial. Semuanya memang banyak, semuanya berbeda, tetapi penerapannya sama. Secara sederhana, riwayat sosial ini adalah sesuatu yang dapat kita tanyakan saat wawancara, terutama untuk sesi pertama. Sesi pertama adalah saat-saatnya gencar mengumpulkan data mengenai klien dan mengorganisasikannya agar lebih teratur dan mudah dipahami. Biarlah klien bercerita minimal satu makalah kalau dibuat dalam bentuk tertulis. Tujuannya adalah agar klien mampu melepas sebagian dari bebannya, agar pada sesi berikutnya dia merasa lebih baik. Selain itu, kita juga memiliki lebih banyak informasi setelah bertanya mengenai riwayat sosialnya dan mampu mendapat gambaran seperti apa dia. Kita tidak akan pernah mengenal lebih dalam siapa lawan bicara kita jika kita menutup mata dari apa yang dialaminya dan dia rasakan selama ini. Ketika kita tahu apa yang dialami dan dirasakannya, di situlah kita akan mulai mengenalnya.

Kamis, 14 Maret 2013

Marriages in Later Life

     Kehidupan menikah-cerai itu sudah biasa, bahkan sering sekali disorot oleh media. Uniknya, sesuatu yang kurang indah seperti ini mudah sekali mendapat perhatian publik. Padahal masih ada hal positif yang belum tersorot, dan tidak sesering yang negatif itu disorot. Apakah itu? Salah satunya pernikahan yang bertahan lama, yaitu pernikahan yang tetap utuh hingga pasangan mencapai usia lanjut (marriages in later life). Kira-kira ada atau tidak ya yang penasaran resep rahasianya dalam mempertahankan hubungan jangka panjang ini? Sebenarnya ini merupakan salah satu menu dalam kelas Perilaku Seksual hari ini. Sekali-sekali kita juga harus belajar dari generasi di atas kita untuk mendapat pelajarah yang berharga.


sumber: http://mayabasoeki.blogspot.com
     Pernikahan generasi muda dan lanjut usia (lansia) memang berbeda. Pada generasi muda, mudahnya "cinta" adalah sesuatu yang dominan pada umumnya, baik itu berkaitan dengan kedekatan emosional (intimacy) maupun gairah dalam sebuah hubungan (passion). Sedangkan hubungan pernikahan pada lansia itu yang umumnya mendominasi adalah komitmen mempertahankan hubungan. Bagaimana komitmen yang sebelumnya tidak dominan pada pernikahan generasi muda menjadi dominan di masa lansia? Terlepas masih adanya cinta/tidak, masih ada keinginan bersama/tidak, kedua pihak dalam pernikahan sudah banyak berinvestasi dalam pernikahan mereka. Investasi yang dimaksudkan itu bukan dalam konteks ekonomi alias money money I love money, melainkan sudah seberapa banyak pengorbanan yang dilakukan untuk mempertahankan pernikahan. Agar mudah menempatkan diri dalam posisi itu, bayangkan saja jika kita sudah berkorban demi sesuatu, apakah kita ingin pengorbanan itu sia-sia? Tentu tidak. Hal yang sama juga terjadi dalam pernikahan, ketika sudah berkorban demi sebuah hubungan tentu ingin hubungan itu bertahan. 

     Dari manakah asalnya komitmen demikian? Seperti halnya pohon, pohon akan bertumbuh dengan baik apabila diberikan air yang cukup dan pupuk berkualitas. Artinya, komitmen harus ditanamkan sejak masih muda sewaktu menjalin hubungan cinta. Mungkin masih ingin bersenang-senang, belum mampu untuk setia pada satu wanita/pria, masih ingin yang lebih baik... Itu hal wajar, memang sejak dahulu ini merupakan kecenderungan pada manusia, ingin lebih, lebih, dan lebih. Akan tetapi, manusia mampu mengendalikan diri, jadi cobalah untuk tetap bertahan pada satu pilihan pasangan. Ketika sudah memilih, cobalah mempertahankan hubungan dengan tetap menjadi diri sendiri. Tujuannya agar masing-masing pihak saling mengenal dan dapat membantu satu sama lain hingga mencapai tahap pernikahan dan terus berlanjut. Dengan demikian kita juga sekaligus belajar menerima pasangan dari kelebihan dan kekurangannya, sehingga akan lebih terbiasa untuk tidak berpaling dari pasangan dan mencari pasangan baru. Kebiasaan inilah yang nantinya akan mengawali komitmen dalam sebuah hubungan sampai ke jenjang pernikahan dan lansia.

sumber: http://widow.ie/inspiring-quotes-to-share/

     Kalau sudah ada komitmen dan hubungannya menjadi "klop," memang terasa sulit kalau harus kehilangan pasangan. Umumnya pada pernikahan lansia, kehilangan pasangan terjadi akibat kematian salah satu pasangan, kehilangan seseorang yang dicintai. Pasangan yang masih hidup pun menjadi janda (widow) atau duda (widower), penyesuaian dirinya pun akan cukup sulit. Di negara tertentu, janda/duda ini seringkali  "ditinggalkan" oleh keluarga dan kerabat-kerabatnya ketika baru saja kehilangan pasangan. Mereka sebenarnya tetap memberikan dukungan bagi janda/duda untuk tetap berjuang melangsungkan kehidupannya, tetapi mereka merasa bingung harus bagaimana berhadapan dengan janda/duda ini. Perilaku seseorang yang kehilangan pasangan berbeda dari biasanya, misalkan tadinya periang menjadi pemurung. Kalau membaca dimana-mana, jawabannya sama... "berikan dukungan sosial." Kalau sekadar berkata itu mudah tetapi bagaimana menerapkannya? Ternyata dukungan sosial yang dapat diberikan oleh lingkungan terdekatnya itu tidak harus benar-benar nyata. Cukup berada terus di dekatnya, agar Beliau merasa tidak ditinggalkan untuk ke-sekian kalinya. Seiring berjalannya waktu, janda/duda dapat mengumpulkan keberanian untuk kembali berbaur bersama lingkungan sosialnya. Ketika mulai menunjukkan ketertarikan untuk bersama-sama, itulah saatnya kita menyambut dengan hangat dan beraktivitas bersamanya. Tujuannya adalah agar Beliau merasakan masih ada yang peduli dengannya dan tidak perlu terus larut dalam kesedihan.  Seseorang yang dicintai tidak akan pergi dari kita, karena dia selalu ada di hati kita dan mendampingi kita kapanpun dan dimanapun. Setiap kita berpikir tentang dia, dia akan selalu ada untuk kita.

Senin, 11 Maret 2013

Satu Paket

     Mengenai keterampilan wawancara, sbenarnya ada beberapa keterampilan pokok itu mencakup rapport, empati, attending behavior, dan active listening skills. Keempat itu makanan apa sih? kok namanya seperti di Cooking Masterchef Indonesia. Misalnya ada menu grilled salmon with popcorn sauce.  Menunyaaa.... sakti benerrrrr.... kesannya sesuatu banget, begitu disajikan... loh? kok piringnya lebar tetapi isinya sedikit? mahal pula.... Teknik wawancara berbeda dengan acara tersebut. Kalau memasak, yang dilihat itu seberapa lezatnya dan nikmatnya hidangan. Hidangan dengan porsi yang kecil membuat seseorang makan sedikit demi sedikit alias menikmati. Wawancara juga dapat dinikmati, tetapi bagaimana cara menikmatinya?


rapport dapat dimulai dengan hal sederhana,
misalnya dengan berjabat tangan,
sumber: http://blog.crunched.com/10-better-ways-to-build-rapport/
Saya memang sebanarnya tidak menyukai wawancara pada awalnya. Setiap saat selalu saja merasa grogi   setiap akan bertemu dengan subyek baru. Ucapan pun jadi terbata-bata, akhirnya informasi yang didapat menjadi kurang kaya. Ketika mendapat tugas wawancara seorang pakar pendidikan, saya mengamati bagaimana cara teman-teman saya membina hubungan yang baik (rapport) dengan narasumber. Mulai dari cara menyapa, intonasi suara, sampai cara menatap, dan sebagainya sehingga hubungan dengan narasumber menjadi lebih hangat dan nyaman. Memang benar, saya belum benar-benar bisa membina rapport, jadi saya mengikuti bagaimana cara teman-teman melakukannya. Ternyata, rasa grogi itu berkurang perlahan-lahan dan saya mampu berbicara dengan lebih santai seperti perasaan dalam percakapan biasa. Ternyata rapport adalah poin penting untuk membuat pewawancara dan narasumber sama-sama merasa nyaman dan dapat melakukan wawancara dengan lancar. Ketika mampu melakukannya, itulah saatnya saya mampu melihat keindahan dari teknik wawancara dan mulai menyukainya, mata kuliah legendaris yang satu itu.

     Poin kedua adalah empati. Empati merupakan bagaimana kita merefleksikan perasaan dan perilaku seseorang, termasuk pengalamannya. Empati bukan sesuatu yang mudah dilakukan, kita harus mampu memahami perasaan seseorang dan menempatkan diri di posisinya. Sementara mencobanya, kita tidak boleh terbawa emosi, misalnya dengan menagggapi secara berlebihan atau menampilkan ekspresi tertarik pada bagian dari cerita seseorang. Kalau misalnya kita tampak tertarik, orang tersebut akan lebih "berapi-api" untuk menceritakan poin menarik itu. Akibatnya, informasi lain kurang tergali, karena baik pewawancara maupun narasumber lebih terfokus pada topik yang menarik dan cenderung mengabaikan informasi lain. Kemampuan berempati terhadap seseorang juga diawali dengan rapport yang berkualitas. Rapport dapat dianggap sebagai "masa pengenalan." Ketika sudah lebih mengenal antara mereka, hasilnya mereka mampu untuk mencoba berpikir seperti lawan bicaranya. Berpikir seperti lawan bicara juga sama halnya dengan mencoba menempatkan diri di posisi orang lain. Lantas, apa pengaruh empati terhadap wawancara? Dengan empati, pewawancara akan mampu merasakan apa yang dirasakan narasumber berkaitan dengan konten ceritanya dan emosinya. Kemudian pewawancara dapat menyesuaikan perilaku dan intonasi bicara, termasuk pilihan kata dalam bertanya. Akhirnya, pertanyaan pun terdengar lebih sopan dan tidak terlalu menyinggung narasumber, terutama untuk kasus yang sensitif.

mendengarkan itu harus memerhatikan wajah lawan bicara
dan jangan terfokus pada perilaku sendiri (asyik sendiri)
sumber: http://www.gordontraining.com/leadership-training/what-is-the-rationale-for-active-listening/
     Saat narasumber berbicara, apa yang sebaiknya kita lakukan (attending behavior)? Apa yang kita lakukan sementara kita mendengarkan apa yang disampaikan Beliau? Kita harus dapat membedakan antara "mendengar" dan "mendengarkan." "Mendengar" hanya berarti kita mengetahui dia berbicara dari suara yang keluar dari mulutnya. Ketika ditanya, "apa yang sebelumnya dia jelaskan?" Jawabannya dia belum tentu mengetahuinya, karena dia tidak dengan sengaja mendengarkan kontennya dan menangkap perasaan dari narasumber. "Mendengarkan (active listening skills)" adalah kebalikannya, dengan mendengarkan kita akan mampu menjelaskan kembali dan menangkap seperti apa perasaannya. Mendengarkan itu tidak hanya sebatas melihat ke arah narasumber selama mencari tahu konten dan perasaannya. Kita juga harus memperhatikan perilaku kita sendiri selama mendengarkan. Andaikan kita terus mencatat semua yang diungkapkan narasumber sampai terlalu fokus pada catatan, ini menarik perhatian narasumber. Hati-hati kalau sampai terjadi, kita akan kehilangan kesempatan untuk mengobservasi kesinambungan perilaku nonverbal (misalnya ekspresi wajah), perilaku verbal (kata-kata dan penekanan), dan kesinambungan antara keduanya untuk melengkapi data. Kunci utama dalam wawancara adalah rapport, rapport membuat kita lebih mudah berempati. Ketika kita mampu berempati, kita lebih mampu memposisikan diri menjadi narasumber. Sebagai narasumber yang diwawancara, apa yang kita inginkan dari pewawancara saat kita menjawab pertanyaan? Ingin didengarkan? Perilaku seperti apa yang dapat kita katakan "mendengarkan"? Tentu kita ingin diperhatikan selama berbicara, juga ingin perasaan kita dimengerti oleh pewawancara, maka lakukanlah demikian saat melakukan wawancara. Idealnya kalau mau mengerti orang lain kita juga harus mampu menempatkan diri terlebih dahulu di posisi orang lain, otomatis dari rapport sampai active listening akan menjadi satu paket yang harmonis. 

"I like to listen. I have learned a great deal from listening carefully. Most people never listen."
~Ernest Hemingway~

"Kecil itu Sesuatu"

     Barangkali ada yang bertanya-tanya "mengapa alamat blog ini kecilitusesuatu.blogspot.com?" Mungkin selama ini topik yang diangkat dalam blog ini seakan-akan mencakup hal ini dan itu. Namun, semua hal tersebut memiliki satu kesamaan. Semuanya merupakan fenomena umum yang sering terjadi di dalam kehidupan sehari-hari, tetapi sesuatu yang umum itu dapat menjadi sesuatu yang berbeda dari hal lainnya. Inilah yang saya sebut "Kecil itu Sesuatu," kesannya merupakan hal sepele yang dapat berdampak besar baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Ini juga merupakan alasan mendasar bagi saya untuk menyukai psikologi.

      Psikologi membahas mengenai perilaku dan proses mental pada manusia. Kedua hal itu awalnya dianggap tidak ada. Keduanya mulai mendapat perhatian masyarakat ketika muncul yang namanya gangguan mental atau "mental illness," tepatnya pada era early demonology (Kring, Johnson, Davison, & Neale, 2010).  Seperti apakah pandangan orang-orang mengenai gangguan mental pada era tersebut? Sangat "mistik" kesannya, seseorang yang mengalami gangguan mental diasosiasikan dengan penyebab berupa roh jahat yang masuk ke dalam tubuh manusia dan hal-hal yang berkaitan dengan hal ini. Seiring perkembangan zaman, para penderita gangguan mental itu perlahan-lahan mulai dapat diterima sebagai bagian dari masyarakat. Berkat jasanya Philippe Pinel dan Dorothea Dix, para penderita gangguan mental mulai memperoleh perhatian yang lebih manusiawi dari masyarakat.

Sebagian dari kita cederung mengejar sesuatu yang diinginkan,
tetapi cenderung melupakan sesuatu yang kecil dan penting.
sumber: http://idiva.com/news-work-life/now-get-higher-returns-on-small-savings/5571

     Itu nostalgia... sekarang zaman sudah berubah, seperti apakah perubahannya? Tidak perlu berpikir terlalu  jauh, cukup fenomena di sekitar kita. Contohnya tulisan mengenai "Lebih Dekat Satu Langkah dengan Lansia." Sebagian dari kita cenderung menjauhi lansia, individu-individu dalam rentang usia ini umumnya dianggap "membosankan," tidak "up to date," gaptek (gagap teknologi), lemah secara fisik, daya ingat menurun, dan lain-lain. Pernahkah Anda mencoba menentang anggapan-anggapan ini? Tidak semua lansia seperti itu. Itu hanya sebagian dari mereka yang dianggap demikian. Bagaimana dengan lansia lainnya? Pada kenyataannya ada banyak di antara mereka yang bergerak dalam bidang teknologi, psikologi, ekonomi, sosial, dan lain-lain. Bahkan mereka lebih hebat daripada generasi muda. Apalagi pada masa kini generasi muda itu identik dengan "malas membaca." Ternyata ada golongan lansia yang masih gemar belajar, banyak di antaranya yang menjadi guru besar di suatu universitas, aktivitasnya berkaitan dengan belajar dan membaca. Asalkan mau dilatih, sebuah kompetensi akan tampak, inilah intinya. Siapa bilang mereka itu punya daya ingat yang lebih lemah? Kalau dilatih daya ingatnya, besar kemungkinannya mereka justru lebih cepat dalam pemrosesan informasi dalam pikirannya daripada generasi muda. Hanya ada 1 pertanyaan, "mau atau tidak?" bukan "bisa atau tidak?" Asalkan mau berusaha sekuat tenaga, pasti bisa menjadi seperti apa yang diharapkan meskipun masih ada keterbatasan (Cavanaugh & Fields, 2006).

     Di dua paragraf sebelumnya kita mencicipi sudut pandang dari dunia psikologi abnormal (gangguan mental) dan psikologi gerontologi (bidang psikologi yang mengkaji perilaku dan proses mental pada lansia). Kedua hal ini merupakan salah satu contoh dari hal yang terkesan sepele dan memiliki dampak yang besar. Coba bayangkan, kalau misalnya seseorang dengan gangguan mental tidak diperhatikan, bagaimana dengan perkembangan selanjutnya? apakah mereka akan pulih? Peran keluarga dan kerabat merupakan salah satu bentuk dukungan untuk sembuh bagi mereka, Apabila pihak-pihak ini tidak bersedia menerima mereka, bagaimana mereka memiliki daya juang untuk sembuh? Hal yang dipertaruhkan adalah kesehatan mental mereka, kesehatan mental berkaitan erat dengan bagaimana seseorang menjalani akitvitasnya sehari-hari. Jika kesehatan mentalnya terganggu, tentu saja aktivitas mereka terganggu, orang lain juga akan terganggu. Kalau dari sudut pandang psikologi gerontologi, jangan pernah lupakan seseorang yan sudah lansia bukan berarti tidak dapat melakukan apapun. Anggapan ini yang harus diperbaiki, kalau kita terus memandang dengan cara demikian akhirnya kita akan sulit mempercayai orang lain karena menetapkan standar kualitas yang terlalu tinggi pada orang lain. Sebaliknya, apabila kita menurunkan standar itu, kita lebih berpeluang untuk melihat kelebihan-kelebihan seseorang termasuk lansia, kita pun juga lebih mudah mempercayai seseorang.

Tidak selamanya sesuatu yang vital itu merupakan hal besar. Seseorang tidak akan tersandung batu yang besar, tetapi akan tersandung oleh batu yang kecil, yaitu hal-hal kecil yang merupakan hal besar. Kecil itu sesuatu.

Referensi:
Cavanaugh, J. C. & Fields, F. B. (2006). Adult development and aging (5th ed.). Belmont, CA:
     Wadsworth.
Kring, A. M., Johnson, S. L., Davison, G. C., & Neale, J. M. Abnormal psychology (11th ed.). Jefferson,  
     MO: Wiley.

Jumat, 08 Maret 2013

"Summer Wars"

     I'm not the people who watch countless anime, but my friends and me actually love this kind of Japanese animated productions. Why do we love these? One said the graphic was good, the animation is really soft, natural, and amazing. The another people might think the psychological aspect can be reflecterd through the characters, especially the facial expression. Anime enables us to visualize if we were the anime characters and it enables us to see our lives and values. May be it's a bit late for me to know the anime "Summer Wars," at least I've watched it today. It's really impressive, not only the graphic, but the story, the values within it, and many else.


     The virtual reality world called OZ is the place where humans create their accounts and their avatar to communicate with each other. One day, Kenji Koiso cracked the mathematical codes in OZ and his account was taken over by "Love Machine," an artificial intelligence in the OZ infrastructure which is developed by Wabisuke Jinnouchi (Natsuki's uncle). Love machine uses his account to steal others' account and invade the OZ infrastructure. Kenji Koiso and his friends find out the OZ world and human world are related. The Love Machine made the virtual world in chaos, this chaos made the human world in disaster too. Natsuki Shinohara and Kazuma Ikezawa (the second cousin of Natsuki) help Kenji beat the Love Machine. Unfortunately, Natsuki's grandma (Grandma Sakae) passed away because of the chaos. It looks like they felt an ambivalent feelings, they want to take a revenge on Love Machine, but they have to stay with the family to overcome the grief due to the grandma's death. Grandma leaves a letter for them before she passed away. They got their courage and try to defeat Love Machine. It was a strict battle and they made it! The OZ world and human world return to normal. The family celebrate the event and Grandma's birthday, they got Kenji and Natsuki confessed their love to each other.

reference: http://en.wikipedia.org/wiki/Summer_Wars

OZ
The Avatars
     Generally, a story includes one or two themes, Summer Wars has a different story theme. It includes the stories of family, love, fantasy, and battle. The story reflects the bonds within a family and how they support the members in the family to overcome a situation. There's a harmony in the family, they were having fun together, and they know the other's feelings. The feelings was viewed as love, the love for parents, the love for younger generation, caring, and togetherness. Kenji felt the bonds within the family, he said Natsuki's family is different with his family. He felt the togetherness, fun, and love in Natsuki family. He especially surprised by how Natsuki treats her uncle kindly, even the family rejects her uncle. She keeps her trust for her uncle until the final fight when the others still believe him as a traitor. The feelings of love made them felt Grandma Sakae is always beside them despite she has passed away. The feelings enables them to fight Love Machine together and managed to defeat it. They lost to Love Machine for several times, but they won't surrender until the end, that's a spirit! All of these themes is a fantasy, a special taste of fantasy.

     The anime taught us to think before we act. Acting without thinking is careless, it could be a danger in the future like in Summer Wars. If only Kenji didn't solve the code, the world is not in danger state. But if we got careless and caused a problem, don't forget our relatives. They always stay with us whatever it takes, they'll fight along with us to reach our goals. In the middle of our fight, we often feel like we couldn't reach the goal, it seems there's no hopes left. Remember that in the darkest place, we always be able to see the light. All we need is to strive to find the light, the light of hope. There's always a miracle when we believe ourselves and others. We live with beliefs and hopes, we always act with our beliefs and act to reach our hopes. 


Transforming ordinary people into legends..
Capturing the hearts of million..
Some strories..
Need to be told..
in ANIME-STYLE

~Animax~

Kamis, 07 Maret 2013

Ketertarikan Seksual

     "Cinta" sering sekali diangkat menjadi tema lagu, novel, atau film, terutama sinetron. Bahkan produksi sinetron sampai membuat 7 season atau lebih hanya untuk mengekspos fenomena ini. Jantung berdebar, keluar keringat dingin, rasanya jiwa terpisah dari tubuh, hati berbunga-bunga, dan lain-lain selalu dideskripsikan dalam sebuah tayangan atau bacaan. Ini dikatakan sebagai "jatuh cinta" oleh masyarakat Indonesia, salah satu komponennya "sexual attractiveness" atau ketertarikan seksual. Rasa tertarik pada orang lain umumnya diilustrasikan gambar hati yang terpanah, menandakan jatuh cinta. Namun, bagaimanakah panah itu mampu menembus hati seseorang? Hati itu organ dalam tubuh manusia, panah adalah senjata. Kasihan sekali orang yang terkena panah itu. Bukan ini maksudnya, berbicara mengenai "hati" berarti "perasaan" seseorang khusus dalam konteks ini. Terdapat berbagai komponen yang dapat membuat hati ini terpanah, misalnya wajah, gerakan berjalan, dan suara. Selain itu masih ada androstenon versus feromon, hormon yang memengaruhi penciuman manusia untuk tertarik pada lawan jenis tertentu atau tidak.

     Memandang seorang pria tampan/tidak, seorang wanita itu cantik/tentu sudah tidak asing lagi bagi kita. Umumnya pria cenderung tertarik pada wanita yang dinilai feminin, misalnya memiliki bentuk wajah yang bulat, rambut panjang, wajah yang terlihat "bersinar," dan sebagainya. Wanita pun hampir sama dengan pria, umumnya wanita cenderung tertarik pada pria yang dinilai maskulin, misalnya bentuk muka lebih bersiku (tulang wajah lebih tegas), istilahnya sisi "sangar" pria itu terpampang dari wajahnya. Namun, ada hal lain juga yang memengaruhi penilaian pria dan wanita dari segi wajah, yaitu simetris/tidaknya wajah. Wajah simetris diasosiasikan sebagai individu yang sehat secara genetis dan lebih atraktif. Tidak mengherankan apabila mereka cenderung lebih tertarik pada seseorang yang berwajah simetris. Wajah simetris ditandai dengan jarak mata yang yang sama, lebar bibir yang seimbang, posisi telinga setara, dan lain-lain. Kalau diibaratkan kertas origami, ketika dilipat, semuanya 99,999% tepat posisinya.

     Gerakan saat seseorang berjalan juga dapat berkaitan dengan ketertarikan seksual. Coba kita perhatikan, kalau perempuan berjalan seperti sedang menari, gerakan pinggul dapat terlihat jelas. Sedangkan pria berjalan lebih tegak, gerakan pinggulnya tidak begitu terekspos seperti gerakan wanita. Namun, pada saat keduanya diminta berjalan untuk menilai sebarapa seksinya mereka (diberi tahu).... Gaya berjalan mereka pun berubah! Wanita menggerakkan pinggulnya lebih intensif dari sebelumnya, sedangkan pria cenderung mengepalkan tangannya saat berjalan dan lebih tegak. Ada apa gerangan? Rupanya gerakan-gerakan demikian yang digunakan untuk memikat lawan jenisnya. Setiap spesies memiliki kecenderungan untuk memikat lawan jenisnya dengan cara yang khas. Misalnya seekor burung merak jantan memamerkan keindahan ekornya untuk memikat burung betina. Ada juga yang beradu kekuatan untuk memenangkan hati sang betina. Pada manusia, hal ini dapat dilakukan melalui gaya berjalan, sehingga merupakan kecenderungan bagi manusia juga.

     Wanita cenderung lebih tertarik pada pria dengan suara yang lebih berat dan terdengar tegas. Sedangkan pria umumnya tertarik pada wanita dengan suara lebih tinggi. Keduanya dianggap sebagai individu yang sudah "matang" secara usia. Misalnya saat individu berusia 5 tahun dan 17 tahun, suaranya berubah bukan? Nah inilah maksud dari "kematangan" fisik. Kematangan fisik dan kematangan mental masih dapat dianggap terjadi secara bersamaan bagi beberapa golongan individu, maka mereka dapat tertarik pada individu lain dengan suara yang dipandang lebih maskulin (lebih berat) atau feminin (lebih tinggi) sebab dianggap telah dewasa. Ada kalanya pria tidak mampu membedakan suara dari seorang wanita pada waktu yang berbeda. Ketika wanita mengalami ovulasi (dalam kondisi subur), suaranya lebih tinggi dari biasanya, sehingga pria lebih menyukai suara pada saat ini karena dianggap lebih feminin, padahal wanitanya yahh... 4L (Loe Lagi Loe Lagi). Faktor hormon juga berperan dalam ketertarikan seksual, hormon feromon merupakan senjata wanita untuk memikat pria, sedangkan pria memiliki androstenon untuk memikat wanita yang sedang berovulasi. Keduanya memiliki konsep yang sama, keduanya memengaruhi penciuman dan sama-sama berguna untuk memikat melalui penciuman lawan jenis. Apabila individu menyukai baunya, berarti individu itu tertarik pada pemilik baunya, ini adalah konsepnya. Androstenon memiliki karakteristik yang unik, dapat dikatakan sebagai hormon penolak wanita dan dapat pula dikatakan sebagai hormon pemikat wanita. Wanita yang tidak sedang berovulasi cenderung tidak menyukai bau ini dan menolak. Namun, wanita yang berovulasi lebih menyukainya. Inilah alasannya dikatakan sebagai penolak dan pemikat.

     Faktor-faktor di atas akan membuat seseorang merasa senang berada di dekat pasangannya, juga dapat merasakan kenikmatan seksual. Akan tetapi, keunikan manusia adalah manusia memiliki "komitmen" dalam sebuah hubungan cinta. Ketika sudah menikah, manusia memang tetap memiliki kecenderungan untuk mencari yang lebih, lebih, dan lebih baik. Maka pertanyaannya, bagaimana karakteristik dari hubungan yang sampai bertahun-tahun lamanya? Manusia dapat memilih untuk tetap bersama pasangannya atau meninggalkannya untuk berdampingan dengan pasangan baru. Kecenderungan manusia dari jaman purbakala sampai sekarang itu "pria mencari wanita yang dapat memberikan keturunan", sedangkan "wanita mencari pria yang dapat menyediakan sumber daya dan bertanggung jawab." Idealnya tidak ada istilah ingin memiliki keturunan, tetapi pemberi keturunan disia-siakan. Tanpa dia, tidak ada keturunan. Itulah komitmen, berupa keputusan untuk tetap menyediakan sumber daya dan tetap bertanggung jawab pada pasangan serta memberikan keturunan. Pada awal hubungan cinta, komitmen mungkin belum benar-benar kuat, masih berupa rayuan "aku cinta padamu, aku terima kamu apa adanya." Umumnya pada awal hubungan, rasa dekat dan gairah itu lebih dominan dari komitmen. Namun, seiring berjalannya waktu, pasangan akan saling belajar untuk tetap mempertahankan hubungannya melalui komitmen. Cinta dapat tumbuh dari ketertarikan seksual, tetapi cinta hanya dapat dipelihara dengan komitmen antarpasangan.

"Love does not begin and end the way we seem to think it does. Love is a battle, love is a war; love is a growing up."
(James A. Baldwin) 

Senin, 04 Maret 2013

Tiga Dunia

     Kembali lagi kita ke topik wawancara. Bedanya, kali ini bukan dalam konteks klinis, tetapi konteks psikologi industri/organisasi (PIO) dan pendidikan. Teman-teman di kelas berjuang mati-matian sampai bercucuran air mata menjelaskan kedua materi ini. Bayangkans aja lebih dari 3 kelompok harus presentasi dengan waktu yang terbatas dengan kondisi fisik dan emosi yang terkikis sedikit demi sedikit seiring berjalannya waktu. Salah satunya kelompok saya yang presentasi, kami mempresentasikan hasil wawancara dengan praktisi pendidikan. Nah, berikut ini rasa suka dan duka yang senantiasa menemani kami semua di kelas.... selamat membaca dan menikmati...

     Praktisi PIO umumnya dikatakan sebagai Human Resource Development (HRD), singkatnya HR. Pekerjaan yang saya bayangkan itu antara lain mengoreksi surat lamaran (CV), memberikan psikotes, mewawancarai calon karyawan, dan lain-lain. Hal-hal tersebut memang disinggung ketika teman-teman menjelaskannya. Namun, ada kenyataan pahit yang ditemukan dalam menjadi seorang praktisi PIO... Ada calon karyawan yang mengekspresikan ketidaksenangannya karena tidak diterima bekerja dengan mengancam pewawancara. Selain itu, saya juga membayangkan bagaimana rasanya kalau diancam, galau maksimum namanya, diterima salah, ditolak juga salah. Si pengancam kemungkinan kurang kompeten dalam mengendalikan emosi, sehingga emosinya mudah sekali meluap-luap bak gunung berapi. Apabila diterima, otomatis dia akan cukup sulit dibentuk dan dibina dari segi emosinya dan dapat memengaruhi kinerjanya. Apabila ditolak, kita sebagai praktisi yang berisiko. Pergi kemanapun, kita hanya dapat mengatakan "saya berisiko" seperti di iklan televisi untuk iklan berbau kolestrol itu lhoo... 

     Kenyataan pahit lainnya, dalam bidang PIO ada istilah "bajak-membajak." Seorang HR dapat diminta untuk merekrut seseorang dari perusahaan lain (umumnya level manajer ke atas yang memang kompeten). Seperti bajak laut saja, mengambil alih sesuatu yang sebenarnya bukan milik pribadi, tetapi itulah yang terjadi dan masih dianggap sah.  Nah, di tengah kemelut dunia PIO kita dapat menggunakan teknik wawancara. Misalnya saat ingin merekrut seseorang dari perusahaan lain, kita harus mampu memberikan kesan yang positif mengenai perusahaan kita. Slahs atu keterampilannya adalah membina pendekatan (rapport) yang merupakan salah satu keterampilan wawancara. Tujuannya agar orang tersebut merasa sepertinya perusahaan ini sangat ramah, "mengapa tidak saya coba bekerja di sana?" Jika kasusnya adalah kasus pertama, seperti apapun upaya kita hasilnya akan tetap sama. Upaya untuk meminimalisasinya mungkin dnegan berhati-hati dalam bertutur kata, sebab karakternya memang cukup sensitif. Tujuannya adalah agar emosinya tidak "tersulut" dan tetap stabil selama wawancara. Sekarang kita beralih ke dunia pendidikan, apakah sekeras dunia PIO? Seperti apa sajakah pekerjaannya?


  Praktisi psikologi dalam pendidikan umumnya berkecimpung dalam bidang ini, namun ada pula yang bermain dalam dunia klinis anak. Seringkali guru "melabel" seorang siswa bermasalah, siapa yang kena imbasnya? Guru Bimbingan dan Konseling (BK) atau psikolog pendidikanlah yang menikmati imbasnya. Ini adalah salah satu tugas dalam bidang ini, selain membuat kurikulum, seorang praktisi pendidikan juga dapat diminta untuk membantu siswa mengatasi masalahnya, terutama masalah akademis. Setiap kali dipanggil ke ruang BK, selalu saja yang muncul itu bayangan mengerikan seperti nilai-nilai menyerupai taman bunga mawar  alias merah merona angkanya. Anggapan bahwa ruang BK itu mengerikan pun muncul di benak para siswa. Seorang praktisi pendidikan dapat menggunakan wawancara untuk mendapatkan titik terang dari masalah si anak. Syaratnya hanya satu, anak mau terbuka, itu saja. Hal yang membuat saya terkagum-kagum itu ada seorang narasumber yang kesannya sangat "gaul," sampai-sampai para murid berani mendekatinya dan terbuka kepadanya. Ketika dibahas lebih lanjut, ternyata Beliaulah yang mendekati para murid agar mereka tidak menganggap guru BK itu mengerikan. Luar biasa cetar membahana! Tidak semua guru dapat menyadari hal kecil seperti ini, wawancara pun akan lebih lancar tentunya. 

     Sebagian dari masalah anak adalah masalah yang berkaitan dengan pendidikan, di sinilah area praktisi pendidikan dalam klinis anak. Di sini saya mengetahui bahwa cara menghadapi anak-anak dengan kepribadian berbeda itu membutuhkan pendekatan yang berbeda pula. Contoh, anak yang pendiam dengan anak yang aktif. Intinya, kita harus membuat seorang anak senyaman mungkin bersama kita agar dia mau terbuka dan membicarakan masalahnya. Kita harus lebih berusaha dalam mendekati anak pendiam, supaya dia tidak takut pada kita dan mau terbuka.  Anak yang aktif cenderung masih lebih mudah didekati, mungkin saja rasa malu-malu lebih kecil daripada anak pendiam, sehingga lebih mudah mendekatinya. Kendala yang dihadapi dalam konteks ini, terkadang orangtua/anak saling mengintervensi saat wawancara dilakukan. Solusinya, kita pisahkan mereka berdua dengan sesi khusus orangtua dan sesi khusus untuk anak.  Agar si anak tidak gelisah, kita alihkan perhatiannya dengan mainan. Selama dia bermain, kita juga mampu mengobservasinya untuk mendapatkan informasi pelengkap data wawancara, efektif bukan? 

     Memang dunia PIO lebih keras, karena kita berisiko untuk berhadapan dengan pencari kerja yang emosional. Namun, keduanya sama-sama memiliki kenikmatan dan kendala masing-masing. Dunia PIO memungkinkan kita lebih dekat dengan dunia pekerjaan, sehingga kita mampu berempati terhadap seseorang yang mengeluh karena pekerjaannya. Dunia pendidikan memungkinkan kita lebih dekat dengan anak-anak. Kita yang sudah lulus sekolah menjadi seorang senior yang membantu mereka memecahkan masalahnya, terutama masalah akademis. Satu hal lagi yang saya pelajari, dunia pendidikan dan dunia klinis anak tidak dapat dipisahkan. Anak adalah individu yang sedang menempuh pendidikan. Dimana ada pendidikan, psikolog pendidikan berperan. Dimana ada masalah perilaku anak, psikolog klinis anak berperan. Sama halnya dengan dunia PIO meskipun terlihat sangat berbeda dengan dunia klinis anak dan pendidikan. Orangtua seorang murid tentu memiliki pekerjaan. Setiap pekerjaan juga dapat memprediksi bagaimana perilaku seseorang dalam pekerjaan tersebut. Pekerjaan orangtua mungkin berdampak pada pendidikan anaknya. Hanya karena pekerjaan, ada anak yang terus berpindah-pindah sekolah mengikuti tempat orangtua bekerja. Pertanyaannya, apakah gaya hidup demikian akan berpengaruh pada pendidikan anak? Kita memang belum mengetahui jawabannya sekarang, tetapi intinya ketiga dunia tersebut saling berkaitan dan saling mendukung satu sama lain. Bagaikan sebuah sistem, apabila salah satu tidak ada akan memengaruhi bagian lainnya.

Sabtu, 02 Maret 2013

The Meaning to be a Friend

     Everybody seems to view others from their dark side, it's truly difficult to view them from the bright side. It goes the same with me. At first, I view my friends as cold, tempramental, talk a lot (chatty), and so on. I've tried for several times to view them as a good person even I know that's the most difficult part and failed frequently. But, how could you say it's difficult if you have never try it? That's my point. I have the desire to become a good psychologist who work with their heart, not only for proffessionality and not only working with the advanced skills. In order to fulfill my dream, I need to try to view others as a human being who have the both bright side and dark side as a unity and willing to learn from them.

     The desire to see others from the bright side gave me a clue, "find the diamonds in the mud" and it means  I must find their bright side behind the dark side. The tempramental person needs perfection for their work, it assumes they always do the best in their work. The cold one seems to be unfriendly, but  they could keep calm in every situation and find the best solution while the others felt there's no solution. The chatty person has a good speaking skills better than me, he/she might be more intelligent than me, especially in speaking skills. There's no point to set a criteria for a friend. Everyone has the bright side and the dark side, just like us. If we view them from the bright side, we could view ourselves from the bright side. But if we view them from the dark side, we tend to view ourselves from the dark side.

     Not only have the bright side and the dark side within them, they also have a dream. There's some of my friends who wants to study abroad and sharpen their skills there. My friend has ever said he wants to be a sexologist, while the other wants to become a family counselor, graphologist, or hypnotherapist. There's some of my friends who prefer to sharpen their skills in our country, in Indonesia. When I heard a little part of their dreams, I asked myself "Then, What about me? Do I have a strong desire like them?" They master English language very well and clever too. I think I'm not a kind of person like them, there's a gap between us. There's something I learned from them, "the desire to learn." If I have this, there's no doubt I have strong motivation to learn from others like them. Maybe I can't be like them who learn a lot of everything to reach the dream for now. If I have the chance to be like that, I think I should take it. There's only one thing I can do for now, I'll be rooting for them and find my own way to develop myself.


     Talking about friends, how do you answer this question? "What's the meaning to be a friend?" This is a simple question, but has various answers. One might answers "reciprocal," I can give you A and you give me B. The others may answer "love," the meaning to be a friend is to accept everything from others includes the bright side and the dark side. The ability to view others from the dark side and the bright side enable us to understand about our friends. The desire to learn from them is the motivation to develop ourselves. Those are the meaning to be a friend for me. If we'll be able to view them from the both sides and willing to learn from them, we'll able to find a reason why I should maintain the bonds of friendship and do whatever it takes to keep our friendship lasts forever and ever. Friends... You are the inspiration for me to learn, you are the inspiration for me to write...


"Think where man's glory most begins and ends, and say my glory was I have such friends
(William Butler Yeats)