Seorang atau sekelompok wartawan yang sedang berburu berita baik itu dari selebritis atau dari orang-orang di tempat kejadian berlangsung selalu menampilkan sesuatu yang sama. Apakah itu? Membawa recorder, membawa buku catatan kecil, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terus bertambah banyak sampai segunung. Tujuannya adalah memperoleh berita dan menyajikannya kepada masyarakat. Bentuk penyajiannya pun beraneka ragam, ada yang melalui televisi, majalah, tabloid, dan lain-lain. Wawancara dalam psikologi pun hampir sama, kita tetap membuat laporan hasil wawancara. Apa saja isinya dan kegunaannya?
Namanya laporan, ada sekian hal yang harus diingat, misalnya mencantumkan waktu berlangsungnya wawancara, tempatnya, dan biodata subyek. Tidak perlu membayangkan biodata yang dimaksud itu benar-benar rinci sampai nama lengkap, kode pos, hari kelahiran, jam kelahiran, dan lain-lain. Untuk nama, cukup inisial saja, alamat sudah cukup dengan daerahnya saja, misal: "Taman Shaggy (ini hanya nama karangan, bukan alamat yang dapat Anda jumpai dimanapun)." Mengapa demikian? Jangan lupa, rahasia narasumber itu ada di tangan kita. Sebagai orang yang dipercaya sudah seharusnya merahasiakan identitasnya saat hasil wawancara disajikan agar isinya tetap dapat disajikan tetapi tidak diketahui secara pasti siapakah subyeknya. Andai ketahuan karena nama lengkap, yang membacanya mungkin berkata "lho? itu kan tetangga saya yang begini-begini lhoo (mengungkapkan rahasia lain)." Semakin banyak informasi yang harus menjadi rahasia tiba-tiba tersebar kemana-mana dan tidak seharusnya terjadi.
![]() |
Hasil wawancara dikemas dalam bentuk laporan agar mudah dibaca dan dipahami Sumber: Matoa.org |
Proses berikutnya adalah menuliskan hasil wawancaranya. Secara umum terdapat tiga hal, antara lain hasil wawancara, observasi subyek, dan refleksi sebagai pewawancara. Hasil wawancara berisi cerita subyek secara sistematis, bukan cerita proses wawancara, yang disajikan itu berupa informasinya, bukan prosesnya. Prosesnya itu nanti dapat dibahas di bagian lainnya. Poin berikutnya observasi, observasi memang kadang-kadang terlihat subyektif, tergantung siapa yang melakukan. Siasatnya, yang disajikan itu adalah perilaku subyeknya secara konkret, spesifik, dan faktual tanpa kesimpulan dan opini dari kita sebagai pewawancara mengenai perilaku subyek. Apa saja yang dapat diobservasi? Singkatnya kita dapat mengobservasi dari lingkungan saat wawancara berlangsung, penampilan subyek, dan perilaku (verbal/nonverbal). Di awal dikatakan yang diobservasi itu perilaku, tetapi mengapa ada observasi lingkungan dan penampilan? Lingkungan (fisik/sosial) dan penampilan dapat memengaruhi perilaku seseorang. Contoh, kita melihat seorang perempuan sedang menggunakan kertas untuk mengipas-ngipas. Kalau diajukan pertanyaan, "Mengapa dia menampilkan perilaku itu?" Ternyata matahari sedang terik, ada asap kendaraan, dan ada asap ayam bakar (nanti rambutnya wangi parfum ayam bakar), sehingga dia mengipas untuk mengurangi asap dan panasnya udara. Bagaimana dengan penampilan? Bayangkan ada seseorang yang mengenakan mantel di tengah teriknya matahari sementara orang lain mengenakan T-Shirt, kenyataannya dia mengipas-ngipas juga. Berarti penampilannya membuatnya merasa panas, sehingga dia mengipas-ngipas. Inilah yang menunjukkan mengapa perlu mengobservasi lingkungan dan penampilan di samping observasi perilaku. Dari ketiganya, kita akan mampu mengetahui apa yang dirasakan seseorang termasuk emosi dan pikirannya.
![]() |
Dengan bercermin kita akan tahu siapa dan seperti apa kita di mata orang lain. Sumber: bksmpn2turi.blogspot.com |
Poin terakhir adalah refleksi. Di bagian ini, seakan-akan kita bercermin dengan diri sendiri sebagai pewawancara. Kita mencoba mengaitkan apa saja yang kita perbuat dalam wawancara dengan teknik wawancara yang seharusnya. Misalnya mengaitkan perilaku kita dengan keterampilan dasar wawancara (dari membina hubungan baik dengan subyek sampai mendengarkan secara aktif). Ohhh ternyata cara saya membina hubungan itu masih belum bagus karena saya masih cenderung memasang ekspresi muka datar sampai subyek bingung harus berperilaku seperti apa. Ohhh rupanya terlalu banyak mencatat itu juga tidak baik, karena saya semakin asyik dengan catatan bukan dengan apa yang dikatakan subyek. Itulah maksudnya refleksi, sehingga kita akan mengetahui kelebihan dan kekurangan sebagai pewawancara atau bahkan mampu mempertahankan atau mengembangkan kemampuan wawancara kita selama ini. Sekadar mencari informasi siapapun mampu melakukannya termasuk dengan wawancara, tetapi belum tentu mampu menyajikannya dengan baik. Analoginya, di kelas ada mahasiswa yang sangat pintar, tetapi dia memiliki kelemahan "mentransfer" ilmunya kepada teman-teman. Hal terpenting itu bukan sebatas sebanyak apa informasi yang kita peroleh, tetapi bagaimana kita dan orang lain mengerti isinya melalui sebuah laporan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar