Kamis, 27 September 2012

Eternal Friends

     Melihat seseorang yang sedang putus asa bukanlah sesuatu yang mudah apabila kita pernah merasakannya. Terlepas dari apa alasannya, putus asa tetaplah putus asa dan membuat kita merasa tertekan secara emosional. Dahulu saya dan teman-teman saya pun pernah putus asa berat karena dicurigai melakukan sesuatu yang buruk sampai dibawa ke suatu instansi untuk dites oleh pihak tertentu dengan alasan "tes gratis, ga perlu bayar", padahal tidak melakukan apapun. Usai menjalani tes, dia mengatakan "hasil tesnya ga kluar, kamu tes lagi aja". Hal itu berlangsung 3 kali. Sementara teman yang lain hanya sekali mengulang. Akhirnya tes disudahi dan dipanggil satu per satu ke dalam ruangan tester. Tiba giliran saya dipanggil, dia mengatakan bahwa hanya hasil tes saya yang tidak keluar, pasti ada yang saya sembunyikan.
     Dia berpikir saya memiliki rahasia besar yang disembunyikan dan mengajukan banyak pertanyaan seputar hal itu. Selama itu saya tersudut dan tersiksa secara mental, juga merasa takut. Dia terus menanyakan rahasia saya. Saya sendiri tidak pernah menyimpan rahasia tetapi terus disudutkan dengan pertanyaan-pertanyaan dan ekspresi tidak bersahabat dari sang penanya. Sampai akhirnya dia tidak sengaja mengucapkan tujuannya mencari kebenaran dalam sebuah kasus saya melakukan perbuatan buruk. Saya hanya membalas, "Jadi bapak menuduh saya?" Di terus saja menyangkal dan tetap memojokkan saya. Setelah keluar dari ruangan saya hanya menahan air mata, karena saya hanya berpikir dalam situasi itu pun saya harus tetap menghormati yang lebih tua sampai saya tidak mungkin marah di depannya. Air mata itu pun tidak tertahan lagi, menetes selama saya berjalan ke rumah. Setelah menceritakan semuanya kepada orangtua, rasa marah dan kecewa belum pudar. Akhirnya saya menyalakan pendingin ruangan, mematikan lampu kamar, dan mengurung diri sambil menangis keras. Keesokan harinya di sekolah saya ingin menyendiri dan tidak mau bergaul dengan teman-teman lain karena takut dikucilkan. Hari demi hari terlewati dengan rasa sakit yang tak kunjung hilang. Setiap pulang ke rumah hanya mengurung diri dan berusaha tegar meskipun tetap gagal dan menangis.
     Performa saya di sekolah pun turun drastis, biasanya mendapatkan nilai 70 untuk pelajaran sejarah sekarang hanya mendapat 45. Sudah dua kali remedial diberikan, tetapi hanya memperoleh nilai 30 dan 40. Teman-teman saya hanya mencoba menghibur dan saya hanya bisa meneteskan air mata. Sepulang sekolah saya hanya berpikir teman-teman dan keluarga saya tidak menginginkan saya seperti ini. Mereka pun tidak akan senang melihat keadaan saya yang lemah seperti itu. Jika saya terluka, yang terluka bukan hanya saya, tetapi keluarga dan teman-teman juga. Perlahan-lahan saya memberanikan diri kembali berinteraksi dengan teman-teman dan mencari kesibukan untuk melupakan luka masa lalu itu. Memang usaha itu menghabiskan banyak waktu dan tenaga sampai satu tahun lamanya baru benar-benar pulih. Sampai sekarang pun luka itu tetap ada, tetapi tidak sesakit dulu. Kejadian tersebut membuat saya memiliki kepribadian yang lebih kuat dari sebelumnya. Saat bertemu masalah saya yakin mampu mengatasinya, karena saya mampu mengatasi masalah yang jauh lebih berat. Pada akhirnya saya pun tidak tahan melihat seseorang putus asa, rasanya saya ingin sekali membantunya meskipun belum mengetahui cara yang tepat. Saya hanya berharap orang itu dapat menemukan sesuatu yang positif dari dirinya dan menjadikan itu sebagai kekuatannya untuk mengalahkan rasa putus asa seperti yang saya lakukan.

Teman-teman akan selalu ada untuk kita.
Ketika kita berpikir tentang mereka,
mereka akan selalu ada di hati kita
dan memberikan dukungan bagi kita.

Senin, 17 September 2012

Senyuman Kecil

   Siapa yang tidak punya masalah sepanjang hidupnya? Masalah adalah teman terdekat kita yang selalu ada kapanpun dan dimanapun, selalu saja setia bersama kita (padahal kita tidak pernah memintanya). Ada masalah yang sangat mudah kita selesaikan, tetapi ada pula yang sangat sulit kita selesaikan sampai-sampai kita terlalu banyak memikirkan masalah itu. Sumber masalah pun bermacam-macam, ada yang berasal dari pekerjaan, hubungan sosial, lingkungan, dan lain-lain. Jangan biarkan pikiran kita dikuasai oleh mereka! Mereka boleh saja tinggal di dalam pikiran kita, tetapi kitalah yang harus mengendalikannya bukan sebaliknya.
    Semakin kita pikirkan masalah itu bukankah rasanya semakin berat? Seakan-akan tidak ada hal lain yang lebih penting daripada masalah itu sendiri. Lihatlah sekeliling kita, teman-teman dan keluarga kita mungkin bingung bagaimana menghadapi kita yang sedang bermasalah. Diajak bicara akhirnya dimarahi, tidak diajak justru dianggap tidak peduli. Jika terus dibiarkan, bukan hanya kita saja yang stres tetapi lingkungan sosial kita juga akan merasakannya. Cobalah lihat diri kita di masa lalu seperti apa cara kita menghadapi masalah sekaligus bagaimana perasaannya jika berhasil. Seorang teman saya pun sedang merasakan masalah yang sangat berat karena bersangkutan dengan hubungan dengan seseorang, katakanlah itu temannya. Sejak SMA mereka sangat dekat hingga sekarang. Sayangnya, hubungan mereka perlahan-lahan semakin merenggang karena satu dan lain hal ditambah masalah-masalah. Perilaku dia pun menjadi sangat berbeda dari biasanya, menjadi sangat sensitif dan murung sepanjang hari.
    Oleh karena situasinya memang sudah rumit, percuma saja jika saya hanya menyarankan ini dan itu, saya hanya mungkin mencairkan suasana dengan bercanda sedikit dengannya. Harapan saya bercanda akan mengembalikan sedikit keceriaannya dengan sedikit bersenyum agar dia mampu optimis. Siapa tahu dengan senyuman kecil itu dia lebih santai dan pikirannya mulai teralih dari masalah. Biasanya seseorang baru akan mendapatkan solusi-solusi ketika dia meninggalkan masalahnya untuk sementara, memang hal itu yang ada di pikiran saya saat itu. Apabila masalah terus kita pikirkan, terkadang cenderung terlalu banyak berpikir negatif tentang masalahnya. Andai dia mampu melihat sesuatu yang positif dari masalahnya, mungkin dia tidak lagi merasakan tekanan yangs sangat besar seperti sekarang. Berpikir positif akan membuatnya lebih banyak tersenyum dan semakin santai. Pengaruh baginya adalah mulai memandang masalahnya tidak sebesar yang dipikirkan sehingga mampu menyelesaikan masalah itu. Semoga saja harapan itu menjadi kenyataan.
Sedikit senyuman
mengurangi sedikit masalah

Selasa, 11 September 2012

Dia Kreatif, Saya Tidak. Yakin???

     Urusan kreatif atau tidak seringkali identik dengan topik seperti seni atau  wirausaha seperti "Bosan Jadi Pegawai" yang acara TV itu lho.. Ketika kita menyaksikan hasil karya seni atau episode-episode di dalam film itu selalu saja ada yang unik. Ada pula yang berpikir, "Kok bisa yah bikin barang-barang antik trus dijual, kreatif banget. Gue diminta begitu mah aduhhh...abis dah, ga sekreatif itu guee..." Hal yang perlu diketahui, kreativitas itu tidak hanya dalam seni. Dalam memecahkan masalah kita perlu kreativitas, dalam membuat rencana kita perlu itu, cara berpakaian agar tampil awet muda, membuat presentasi yang menarik, dan lain-lain. Sebenarnya apa itu kreativitas? Kreativitas merupakan aktivitas pikiran yang menghasilkan cara baru atau tidak biasa dalam memandang sebuah masalah atau situasi. Selama itu sesuatu yang tidak biasa, itulah kreativitas.

Bohlam sering  dihubungkan dengan "ilham",
mengapa demikian?

     Kita ambil saja salah satu contoh di atas, misalnya cara berpakaian agar tampil awet muda. Si A berpikir lebih baik meramu tanaman-tanaman yang berkhasiat bagi kecantikan. B malah berpikir memakai pakaian yang fashionable agar siapapun tidak terlalu memerhatikan wajahnya yang awet tua. Sedangkan si C berpikir yang praktis dan sederhana, ke klinik X misalnya. "Sebelum saya berobat di sini saya awet tua, tetapi setelah 3 bulan berobat saya merasa awet muda, bye-bye aging^^" Nah, bagaimana ketiga ide itu muncul? Pada intinya ketiga teman kita itu melewati sebuah proses, yaitu proses berpikir kreatif. Pada umumnya kreativitas muncul melalui empat tahap; persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi. Pertama-tama A, B, dan C mengumpulkan informasi mengenai masalah awet tua dan ingin berusaha menyelesaikannya (preparasi). Selanjutnya mereka bingung apa yang harus dilakukan agar mereka tetap cantik awet muda. Daripada stres memikirkan itu alias buntu pikirannya, lebih baik jalan-jalan dulu ke mal. Saat di mal mereka sudah mulai santai meninggalkan masalahnya sementara (inkubasi). Mereka pun melintasi toko kecantikan dan melihat berbagai macam krim anti penuaan yang dibuat oleh dokter ternama. Seketika ide-ide itu muncul, istilahnya mendapatkan "ilham" (iluminasi). Tahap terakhir, mereka menguji coba ide itu cukup baik atau tidak (verifikasi). 
     Kreativitas yang biasanya kita maksudkan adalah di tahap ke-3. Kita pun juga selalu menganggap yang namanya kreatif itu pasti sesuatu yang tidak biasa. Sesuatu yang tidak biasa baru dapat dihasilkan jika pengetahuan kita sudah mencukupi dan lingkungan kita menginginkan kita untuk kreatif. Pengetahuan yang banyak akan sangat memudahkan kita menghubungkan satu informasi dengan informasi lain. Contohnya kita mempunyai konsep warna merah. Apa saja yang berwarna merah? ada lipstick, taplak meja, sapu tangan, cat kuku, kalender, dan lain-lain. Sedangkan lingkungan berpengaruh pada motivasi kita. Apabila orang-orang terdekat kita ada yang mengatakan "wah hebat! bla-bla-bla" saat kita menciptakan sesuatu, kita pun akan semakin merasa usaha kita dihargai dan ingin memberikan yang lebih. Itulah sebabnya motivasi juga terpengaruh dalam hal kreativitas ini. Dalam contoh-contoh di atas, yang manakah yang kreatif?? Tidak perlu minder kalau dikatakan tidak kreatif. Sesuatu yang kita berikan belum tentu inovatif bagi orang lain karena dia mungkin sudah pernah melihat yang lebih kreatif. Apabila menurut kita itu adalah sesuatu yang baru karena kita belum mengetahui yang lain, berbanggalah sebab itu menandakan peningkatan dalam kreativitas.

Minggu, 09 September 2012

Unity

     Siapapun, dimanapun, dan kapanpun ada saja yang membanding-bandingkan sesama teman, anggota keluarga, rekan kerja, dan sebagainya. Pengalaman ini sebenarnya sudah sangat lama, tetapi tetap saja terjadi sampai sekarang. Hal itu pun juga terjadi pada teman kita yang bernama Al. Suatu malam Al ingin meminjam kamar belajar untuk mencicil belajar untuk kuis sekaligus mengerjakan tugas. Pada saat yang bersamaan ayahnya sedang santai tidur-tiduran di dalam sana, padahal Al sudah mempersiapkan segalanya di meja untuk belajar. Ayahnya pun berbicara, "Belajar ya belajar aja, apa urusannya sama gua?" Al hanya berdiam sambil berbicara dalam hati, "Belajar sih belajar, gimana mau belajar kalo papa masih di sini tidur plus nyanyi sambil tidur alias ngorok...plisss deh" Al sudah menyampaikan pada ayahnya berulang-ulang bahwa dia tidak suka belajar jika ruangannya berisik dan tidak ditinggal sendirian di dalam ruangan. Ayahnya hanya diam setiap kali hal itu disampaikan dan tetap melakukan apapun yang menurutnya menyenangkan seperti tidur di ruangan ber-AC, menonton TV, membaca koran/buku, dan lain-lain di ruangan itu.
     Seandainya membalas ucapan anaknya, hanya menjawab "Gua bisa-bisa aja tuh belajar. Lu mau belajar, belajar aja di sini". Ayah Al tidak menyadari bahwa dirinya dan anaknya sangat berbeda. Ayah bisa belajar dalam kondisi berisik dan ada orang, sementara Al lebih suka sendirian saat belajar. "Mungkin saja meskipun ada suara petir ditambah suara piring terbang di dapur papa tetap bisa belajar", pikir Al. Setiap orang itu unik, memiliki karakter yang berbeda-beda satu sama lain dan tidak dapat disamakan, begitu pula dengan ayah dan anak ini. Mereka memang memiliki hubungan darah ayah-anak, tetapi karakter mereka berbeda. Anggapan bahwa "buah jatuh tak jauh dari pohonnya" tidak sepenuhnya benar, karakter anak belum tentu hampir sama dengan orangtuanya. Hal itu merupakan asumsi secara biologis, tetapi bagaimana dengan faktor lingkungan? Siapa saja yang berinteraksi dengannya? Seperti apa karakter masing-masing orang dalam pergaulannya? Siapa tahu lingkungan sosial Al adalah kutu-kutu buku yang hobinya bersarang di perpustakaan dan selalu menyukai ketenangan saat membaca. Atau barangkali di sekolahnya dulu guru-guru wali kelas selalu menuntut suasana yang tenang dalam belajar. Hal-hal itu mungkin yang membuat Al lebih menyukai ketenangan daripada suasana yang kurang tenang, sehingga menjadi tidak sama dengan ayahnya.
     Al dan ayahnya sama-sama kutu buku pada dasarnya, hanya saja berbeda selera dalam suasana ruangan favorit. Perbedaan memang membuat mereka terkesan kurang akrab, bertentangan, tidak cocok, bla bla bla. Padahal mereka memiliki persamaan juga (sama-sama kutu buku). Hubungan ayah-anak ini telah menunjukkan kepada kita bahwa perbedaan adalah sesuatu yang lazim. Persamaan yang menyatukan kita, perbedaan adalah pelengkap dalam sebuah hubungan. Melalui perbedaan, kekurangan-kekurangan seseorang seakan-akan tertutup. Misalkan Al yang lebih suka keheningan, dia lebih unggul dalam menghadapi situasi yang membosankan karena sudah terbiasa. Sehingga dia mampu membuat orang-orang di sekitarnya tetap merasa nyaman di dalam lingkungan sepi sekalipun. Hanya pada saat-saat demikian saja Al dan ayahnya paling sering bertentangan. Akan tetapi di luar itu mereka akrab, mereka seringkali ke toko buku dan mengumpulkan buku-buku, bermain dengan hewan peliharaan, bergantian memakai komputer, dan lain-lain.

Persamaan menyatukan kita,
perbedaan mewarnai hubungan kita.


Kamis, 06 September 2012

Reward Vs Cost

Beragam emosi, beragam warna kehidupan
   Setiap manusia adalah makhluk sosial, mereka selalu berhubungan dengan individu-individu di sekitarnya. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa manusia memang tidak dapat hidup seorang diri. Hubungan antara dua orang tentunya memiliki hubungan timbal balik, yaitu adanya reward dan cost. Reward merupakan konsekuensi menyenangkan bagi individu yang berasal dari sebuah hubungan dengan individu lain. Tentunya tidak ada hubungan yang manis-manis saja, pasti ada rasa pahitnya. Nah rasa pahit dalam sebuah hubungan itu adalah cost. Akan tetapi jangan dibayangkan untuk mendapatkan reward ada cost sama saja dengan kita menginginkan sesuatu yang enak harus merasakan sesuatu yang pahit-pahit, siapa yang mau? Cukup dengan membayangkannya sebagai sebuah lukisan. Suatu lukisan tentu kurang menarik jika hanya memainkan satu warna. Sebaliknya jika dikombinasikan dengan berbagai warna justru menghasilkan karya artistik, baik itu gradasi warna, pembuatan tekstur objek, pencahayaan, dan lain-lain. Hal-hal yang membuat hidup berwarna juga tidak hanya dengan rasa yang manis saja. Pengalaman manis menjadi motivasi kita, sedangkan pengalaman pahit menjadi kekuatan untuk bertahan dalam situasi sulit.
     Secara sadar atau tidak, di dalam sebuah hubungan dengan orang lain kita juga memiliki sebuah standar. Standar yang pertama adalah dengan mempertimbangkan reward dan cost yang berhak kita dapatkan. Suatu hubungan biasanya lebih mungkin bertahan jika reward lebih banyak daripada cost. Sudah jadi naluri manusia ingin yang enak-enak dan menghindari yang tidak enak bukan? Kalau diminta memilih antara barang gratis dan barang mahal padahal dua-duanya sama saja pilih mana hayooo??? Hal ini dikarenakan alam ketidaksadaran yang dimiliki manusia memiliki kecenderungan untuk mencari kepuasan dan menghindari situasi yang sulit, sehingga manusia lebih menyukai keadaan yang lebih membuatnya nyaman dalam sebuah hubungan. Misalnya, dulu A memiliki bos yang sangat perhatian, sekarang beda bos tetapi bosnya sangat pemarah. A akhirnya ingin kembali ke bos yang lama karena bos kedua seperti satpam, sedikit-sedikit marah langsung pecat. Standar kedua, kita cenderung membandingkan reward dan cost di antara dua individu atau lebih sebagai alternatif. Contohnya, B ingin pergi ke pesta dengan seorang teman. Dia berpikir si A orangnya supersensitif, baru kena angin dikira ada yang pegang-pegang, astaga.... Si C orangnya sok cantik, tiap melihat sesuatu yang besar langsung sembunyi+dandan sampai bibirnya kelap-kelip seperti lampu disko. Sedangkan D oangnya kalem dan pendengar yang baik. Akhirnya B memilih D sebagai pendampingnya ke pesta berdasarkan seberapa banyak reward-nya (tidak supersensitif dan tidak sok cantik).
     Nah, dalam manajemen hubungan dengan seseorang tidak mungkin kita langsung memutuskan hubungan hanya karena cost yang terlalu banyak. Setidaknya yang dapat kita lakukan adalah mencoba menyesuaikan diri sekali lagi, mencari solusi ketika ada masalah, dan introspeksi diri jika perlu. Hal-hal ini dilakukan agar kita mengetahui lebih dalam bagaimana karakter teman kita dan karakter kita sendiri. Introspeksi diri pun juga penting. Apabila sama-sama marah alias konflik dan tidak bisa redam juga amarahnya, sebaiknya coba pikirkan lagi apakah kita memiliki kesalahan sehingga dia juga marah? Setelah mengetahuinya baru dibicarakan tanpa emosi agar dapat menemukan solusinya.

Rabu, 05 September 2012

Hal Kecil dengan Harga yang Tak Ternilai

     Tentunya sudah tidak asing lagi yang namanya bus. Di dalam bus terdapat banyak tempat duduk, juga ada besi-besi untuk berpegangan. Ketika masuk bus X, terkadang kita juga menjumpai adanya seseorang yang duduk di perbatasan antara dua kursi. Orang-orang selanjutnya menganggap hal itu mungkin lebih nyaman alias posisi "wuenak" (PW), lalu menirunya. Deindividuasi juga seperti itu kasusnya, individu berani berbuat jika berada di dalam kelompok yang melakukan hal serupa agar terkesan sah-sah saja lagipula juga tidak ada yang tahu identitasnya. Sekumpulan orang duduk demikian, akhirnya orang lain yang baru masuk ke dalamnya pun melakukan hal yang sama. Nah, persoalannya ketika orang terakhir masuk ke dalamnya dan ingin duduk bagaimana? Apakah mereka mendapatkan tempat duduk? Suatu ketika kasus ini terjadi, 6 dari 9 orang penumpang bus X duduk dengan posisi seperti itu ditambah 1 orang berusia sekitar 60 tahun ke atas berpegangan pada besi dalam bus sementara di sisi lain memang tempat duduknya terisi penuh tanpa adanya penumpang yang duduk seperti itu. Orang-orang yang duduk dalam PW tidak ada yang mau berbagi tempat dengan dia, hanya melihat ke arahnya saja sementara dia menengok berkali-kali ingin duduk.
Posisi Wuenak (PW) - sebelah kiri
     Pernahkah sekelompok orang itu mencoba menempatkan diri dalam kondisi seperti orang yang sedang berdiri itu? Individu yang memasuki usia 60 tahun ke atas mungkin sudah mengalami proses penuaan (aging) dalam hal fisik. Kita sebagai orang lain melihatnya biasa-biasa saja seakan-akan kemampuan motoriknya masih baik. Akan tetapi, yang paling mengetahui masih baik/tidaknya kemampuan itu adalah individu bersangkutan. Suatu hal yang terlihat baik belum tentu baik, mungkin sebenarnya dia hanya menahan rasa sakit karena berdiri dalam waktu cukup lama sebab otot-ototnya sudah tidak sekuat saat dia muda. Belajar berempati memang tidak mudah, tetapi dengan mencoba dari hal kecil ini dapat memberikan manfaat luar biasa. Jika dalam kasus ini kita sudah mampu berbagi tempat duduk saja, kita sudah mempunyai sebuah pengalaman berempati. Pengalaman dapat diibaratkan fondasi rumah. Apabila fondasi sudah terbentuk, tidak mustahil untuk membangun rumah di atasnya. Sebuah pengalaman kecil membuat kita yakin mampu melakukan hal yang lebih besar dan lebih besar lagi. Keyakinan itu akan menjadi self-efficacy, karena kita yakin kita mampu melewati tantangan-tantangan berikutnya dalam belajar berempati sekaligus yakin dapat memetik hasilnya. Lagipula segala sesuatu yang besar berawal dari sesuatu yang kecil ada tidak ada kata terlambat untuk belajar berempati, siapapun dapat memulainya.

Senin, 03 September 2012

Tidur Membawa Sensasi

    Suatu hari seorang mahasiswa di sebuah universitas sedang berkunjung ke perpustakaan (perpus) fakultas, katakanlah namanya adalah Steve. Tujuannya untuk membaca buku dengan santai sambil menunggu jam kelas berikutnya. Kelas berikutnya akan dimulai pada pukul 15.00, dia berada di perpus sejak pukul 12.00. Selama satu jam Steve membaca buku dengan tenang sambil berbincang-bincang dengan teman-teman di perpus. Setelah teman-temannya pergi, Steve hanya sendirian berada di dalam sana. Masuklah seorang senior laki-laki yang memakai pakaian dengan fashion style sensasi formal dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dia pun duduk di sofa sebelah kiri Steve sambil memegang sebuah buku dan sebuah telepon genggam (handphone).
      Steve tiba-tiba mendengar bunyi "tak-tek-tak-tek, kresek-kresek" dari kiri. Ternyata senior itu bukan membaca buku, tetapi bermain handphone. Cerdas, rupanya buku hanya simbol kamuflase anak rajin.....>< Rasa kesal pun dirasakan Steve sebab keheningan menjadi rusak karena suara itu. Dua menit kemudian suara itu berubah menjadi suara dengkuran, ternyata dia tertidur dengan buku terbuka menutupi bagian dahinya. Sementara itu, mulutnya terbuka dan mengeluarkan bunyi "ngok..ngok...NGGGGOOOKKKK!!!...ngok". Semakin lama semakin keras nyanyian tidur itu, seakan-akan getaran suara itu 7 skala Richter!! Sesuatu~ Steve dan dua orang mahasiswa lain yang ada di dalam perpus memang tidak membangunkannya. Kasihan, dia semalaman mencari nafkah untuk keluarganya sambil berjualan martabak sampai jam 3 pagi (duniakhayal.com). Steve dan teman-temannya yang tadinya sedang asyik membaca buku terganggu oleh nyanyian itu menemukan kegiatan menyenangkan, yaitu "mengobservasi manusia yang sedang tidur". Steve dan satu temannya beranjak dari tempat duduk menuju rak buku (kelihatannya mau cari buku, padahal mengobservasi sembunyi-sembunyi).
Agar observasi berhasil,
sebaiknya subjek tidak menyadari
keberadaan kita
    Sepanjang Steve mengobservasi, dia mengingat bahwa salah satu hal yang membentuk kepribadian individu adalah interaksi individu dengan lingkungan sosial pada waktu masih kecil. Jangan-jangan budaya mencari tempat nyaman untuk tidur dimana-mana merupakan salah satu perilaku senior itu?! Apa mungkin dia melakukan modeling terhadap perilaku tidur seperti itu dari individu-individu di sekitarnya? Tidak hanya meniru sebuah perilaku, tetapi juga sangat mungkin nilai-nilai eksternal juga diterima dan dianut oleh dia termasuk nilai boleh tidur dimana-mana yang penting ceria. Tidur kalau lelah boleh-boleh saja, tetapi perhatikan dulu tempatnya... Namanya saja perpus, siapapun ingin membaca buku dan mengerjakan tugas dengan tenang. Kalau selama membaca dan mengerjakan tugas diiringi nyanyian tidur seperti namanya bukan "pengaruh musik terhadap kemampuan memori manusia" lagi namanya, "musik alias gempa bumi". Ketika Steve melintas di depan senior itu, ternyata ada satu orang lagi di sofa lain tersenyum kecil ketika melihat Steve. "Wah! Jangan-jangan dia juga asyik mengobservasi si senior?! A mysterious taste! Kabur ah sebelum ketahuan, hihihi" ujar Steve dalam hatinya. Keempat orang yang mengobservasi dapat diibaratkan "The Four" versi palsu; Chance snatcher (pencuri kesempatan observasi), emotionless (tidak segan-segan observasi orang tidur), cold blood (kejam, observasi tanpa sepengetahuan), dan invisible hand (jadi invisible person, bukan invisible woman Fantastic 4).