Kamis, 06 September 2012

Reward Vs Cost

Beragam emosi, beragam warna kehidupan
   Setiap manusia adalah makhluk sosial, mereka selalu berhubungan dengan individu-individu di sekitarnya. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa manusia memang tidak dapat hidup seorang diri. Hubungan antara dua orang tentunya memiliki hubungan timbal balik, yaitu adanya reward dan cost. Reward merupakan konsekuensi menyenangkan bagi individu yang berasal dari sebuah hubungan dengan individu lain. Tentunya tidak ada hubungan yang manis-manis saja, pasti ada rasa pahitnya. Nah rasa pahit dalam sebuah hubungan itu adalah cost. Akan tetapi jangan dibayangkan untuk mendapatkan reward ada cost sama saja dengan kita menginginkan sesuatu yang enak harus merasakan sesuatu yang pahit-pahit, siapa yang mau? Cukup dengan membayangkannya sebagai sebuah lukisan. Suatu lukisan tentu kurang menarik jika hanya memainkan satu warna. Sebaliknya jika dikombinasikan dengan berbagai warna justru menghasilkan karya artistik, baik itu gradasi warna, pembuatan tekstur objek, pencahayaan, dan lain-lain. Hal-hal yang membuat hidup berwarna juga tidak hanya dengan rasa yang manis saja. Pengalaman manis menjadi motivasi kita, sedangkan pengalaman pahit menjadi kekuatan untuk bertahan dalam situasi sulit.
     Secara sadar atau tidak, di dalam sebuah hubungan dengan orang lain kita juga memiliki sebuah standar. Standar yang pertama adalah dengan mempertimbangkan reward dan cost yang berhak kita dapatkan. Suatu hubungan biasanya lebih mungkin bertahan jika reward lebih banyak daripada cost. Sudah jadi naluri manusia ingin yang enak-enak dan menghindari yang tidak enak bukan? Kalau diminta memilih antara barang gratis dan barang mahal padahal dua-duanya sama saja pilih mana hayooo??? Hal ini dikarenakan alam ketidaksadaran yang dimiliki manusia memiliki kecenderungan untuk mencari kepuasan dan menghindari situasi yang sulit, sehingga manusia lebih menyukai keadaan yang lebih membuatnya nyaman dalam sebuah hubungan. Misalnya, dulu A memiliki bos yang sangat perhatian, sekarang beda bos tetapi bosnya sangat pemarah. A akhirnya ingin kembali ke bos yang lama karena bos kedua seperti satpam, sedikit-sedikit marah langsung pecat. Standar kedua, kita cenderung membandingkan reward dan cost di antara dua individu atau lebih sebagai alternatif. Contohnya, B ingin pergi ke pesta dengan seorang teman. Dia berpikir si A orangnya supersensitif, baru kena angin dikira ada yang pegang-pegang, astaga.... Si C orangnya sok cantik, tiap melihat sesuatu yang besar langsung sembunyi+dandan sampai bibirnya kelap-kelip seperti lampu disko. Sedangkan D oangnya kalem dan pendengar yang baik. Akhirnya B memilih D sebagai pendampingnya ke pesta berdasarkan seberapa banyak reward-nya (tidak supersensitif dan tidak sok cantik).
     Nah, dalam manajemen hubungan dengan seseorang tidak mungkin kita langsung memutuskan hubungan hanya karena cost yang terlalu banyak. Setidaknya yang dapat kita lakukan adalah mencoba menyesuaikan diri sekali lagi, mencari solusi ketika ada masalah, dan introspeksi diri jika perlu. Hal-hal ini dilakukan agar kita mengetahui lebih dalam bagaimana karakter teman kita dan karakter kita sendiri. Introspeksi diri pun juga penting. Apabila sama-sama marah alias konflik dan tidak bisa redam juga amarahnya, sebaiknya coba pikirkan lagi apakah kita memiliki kesalahan sehingga dia juga marah? Setelah mengetahuinya baru dibicarakan tanpa emosi agar dapat menemukan solusinya.

2 komentar:

  1. > paragraf 2 pada akhir kalimat 2 tanda titik jangan diberi spasi.
    > masih di par 2 baris 9. Kata 'sehingga' tidak boleh setelah tanda titik.
    > lagi di par 2 baris 3 dari bawah kata 'disco' dicetak miring atau ditulis 'disko'

    BalasHapus
  2. ok,sudah diperbaiki, tahnks koreksinya

    BalasHapus